Assalamualiakum kudang kance dimane badah, ibung mamak, besak kecik, tue mude, nak masih nengae li dek tuli nak tuli li digek nengae ... Kenalkah aku Debby jeme tanjung bulan tanjung sakti PUMI. Pantau seje dibot ame di dusun Kelahiran taun 94 di tanjung bulan tanjung sakti. Cucung Sulaiman njak di Bak dan cucung Antang njak di emak. Luk mane ade nak sedaghah nga aku ni ? Sengaje mbuat blog ini kekalu begati nga jeme kite. Sesambilan kalu ade kundang kance di rantau meghase ghindu nga dusun laman jadilah pule nginak blog ini nak pebampal cupir ghindu. Gilah karene belum tebasi nulis aseku cuma itu kudai pekenalan kite . Ame sempat tinggalkah komentar di blog ini au adik sanak dusun laman meraje anak belai dan seluruh jeme tanjung sakti. Assalamu'alaikum
Tuesday, 8 September 2015
Monday, 10 August 2015
MAKALAH MEDIA PEMBELAJARAN PAI
BAB I
A. Pendahuluan
Pembelajaran merupakan kegiatan yang
bernilai edukatif yang mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dan siswa.
Interaksi bernilai edukatif karena kegiatan yang dilakukan diarahkan untuk
mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelum pembelajaran dilakukan. Guru dengan
penuh kesadaran melakukan kegiatan secara sistematis dengan memanfaatkan segala
sesuatu untuk kepentingan pembelajaran.
Guru selalu dituntut agar materi
pembelajaran yang disampaikan dapat dikuasai siswa secara tuntas. Hal ini
menjadi permasalahan yang cukup sulit bagi guru, karena siswa bukan hanya
sebagai individu dengan semua keunikannya, tetapi mereka juga sebagai makhluk
sosial dengan latar belakang yang berbeda. Paling tidak ada tiga aspek yang
membedakan siswa dengan yang lainnya, yaitu aspek intelektual, aspek
psikologis, dan aspek biologis.
Ketiga aspek tersebut diakui sebagai
akar permasalahan yang melahirkan sikap dan perilaku siswa bervariasi di
sekolah. Hal itu pula yang menjadikan berat tugas guru dalam mengelola kelas
dengan baik. Keluhan-keluhan guru sering terlontar hanya karena masalah
kesulitan mengelola kelas. Akibat kegagalan guru mengelola kelas, tujuan
pembelajaranpun sulit untuk dicapai. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi,
apabila ada usaha yang dilakukan oleh guru. Salah satu cara yang dapat
dilakukan adalah dengan meminimalkan jumlah siswa di kelas, mengaplikasikan
beberapa prinsip pengelolaan kelas, memilih pendekatan pembelajaran yang tepat.
Di samping itu, perlu memanfaatkan media pembelajaran yang telah ada dan
mengupayakan pengadaan media pembelajaran baru demi mewujudkan tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan.
Seiring dengan kemajuan teknologi yang
sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan di sekolah, maka penggunaan
alat-alat atau media pembelajaran juga harus menyesuaikan dengan kemajuan
teknologi tersebut. Penggunaan media teknologi membuat pembelajaran menjadi
lebih efektif dan efisien. Tidak hanya itu, perkembangan pendidikan di sekolah
semakin lama semakin mengalami perubahan dan mendorong berbagai usaha perubahan.
Saat ini, pembelajaran di sekolah mulai
disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. Hal itu menyebabkan
terjadi perubahan dan pergeseran paradigma pendidikan. Pembelajaran yang semula
hanya menggunakan metode ceramah konvensional atau verbal semata menjadi
pembelajaran yang lebih aktif dan menyenangkan. Pembelajaran yang semula siswa
sebagai obyek pasif yang hanya menerima apa adanya dari guru, menjadi
pembelajaran yang menuntut siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran aktif dan menyenangkan memerlukan sarana yang dapat digunakan
sebagai perantara dalam proses pembelajaran untuk mempertinggi efektifitas dan
efisiensi dalam mencapai tujuan pembelajaran, setidaknya sarana yang efektif
dan efisien dalam bentuknya, komponen lingkungannya, alat fisiknya, dan
komunikasinya. Demikian pula dengan Pendidikan Agama Islam juga memerlukan
sarana pembelajaran untuk meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam proses
belajar mengajar. Sarana pembelajaran tersebut dikenal dengan istilah media
pembelajaran.
Dalam proses belajar mengajar Pendidikan
Agama Islam, kehadiran media pembelajaran sangat penting artinya dan merupakan
suatu keharusan. Ketiadaan media sangat memengaruhi proses belajar mengajar,
media pembelajaran dapat membantu mengatasi ketidakjelasan materi yang
disampaikan menjadi jelas dan mudah diterima oleh siswa.
BAB II
Pembahasan
1. Pengertian
Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Arsyad (2011, hlm.3) menyebutkan, ”Kata
media berasal dari bahasa Latin mediusyang berarti tengah,
perantara, pengantar. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara (وسائل) atau
pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan”. Pengertian ini
mengacu pada perantara yang mendistribusikan pesan dari pemberi pesan kepada
penerima pesan. Perantara dapat berbentuk alat fisik, sebagaimana pendapat
Briggs seperti dikutip oleh Ramayulis (2011, hlm. 250) yang mendefinisikan
media sebagai segala bentuk alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat
merangsang siswa untuk belajar.
Alat fisik yang digunakan untuk
menyajikan pesan kepada penerimanya untuk merangsang siswa agar mau dan aktif
dalam belajar. Pengertian tersebut senada dengan pendapat Rustyah NK
sebagaimana dikutip oleh Ramayulis (2011, hlm. 250) menyebutkan bahwa pengertian
media mengacu pada penggunaan alat yang berupa benda untuk membantu proses
penyampaian pesan.
Ada kata kunci baru yang muncul dari
pengertian menurut Rustyah, yaitu media sebagai alat bantu proses penyampaian
pesan. Alat bantu mempunyai pengertian yang lebih luas dari sekedar alat
berbentuk fisik. Hal ini lebih dipertegas oleh Basyiruddin Usman (2002,
hlm.127) yang menyebutkan, ”Pengertian media secara lebih luas dapat diartikan
manusia, benda atau peristiwa yang membuat kondisi siswa memungkinkan memperoleh
pengetahuan, keterampilan atau sikap”. Demikian pula pendapat Gegne sebagaimana
dikutip oleh Ramayulis (2011, hlm.250) menyebutkan bahwa media adalah berbagai
jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang peserta didik untuk
belajar.
Kedua pendapat terakhir mengandung
pengertian yang lebih luas dibanding dengan pengertian-pengertian sebelumnya.
Media merupakan semua komponen yang terkait dengan proses penyampaian pesan.
Media pembelajaran dan alat pembelajaran mempunyai pengertian yang sama,
sebagaimana pendapat Daradjat (1984, hlm.80) yang menyebutkan bahwa pengertian
alat pendidikan sama dengan media pendidikan sebagai sarana pendidikan.
Media pembelajaran merupakan media yang
digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu guru dalam mengajar
serta sarana pembawa pesan dari sumber belajar ke penerima pesan belajar
(siswa). Sebagai penyaji dan penyalur pesan, media pembelajaran dalam hal-hal
tertentu bisa mewakili guru menyajikan informasi belajar kepada siswa. Jika
media pembelajaran didesain dan dikembangkan secara baik, maka peran
guru dapat diperankan oleh media pembelajaran meskipun tanpa
keberadaan guru.
Keberadaan media pembelajaran akan
menjadikan materi pembelajaran yang bersifat abstrak menjadi lebih konkrit.
Siswa menjadi aktif dan memperoleh pengalaman langsung melalui media
pembelajaran.
Secara garis besar pengertian media
pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sebagai perantara atau pengantar,
alat bantu mengajar, sarana pembawa/penyalur pesan, sumber belajar, dan alat
perangsang siswa agar pembelajaran menjadi lebih konkrit dan siswa terlibat
aktif dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain media pembelajaran
adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat
merangsangpikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat
mendorong proses belajar yang efektif dan efisien.
2. Tujuan
Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Basyiruddin Usman (2002, hlm. 19)
menyebutkan, ”Media pengajaran digunakan dalam rangka upaya peningkatan atau
mempertinggi mutu proses kegiatan belajar mengajar”. Peningkatan mutu proses
kegiatan belajar mengajar menjadi tujuan dari penggunaan media pembelajaran.
Mutu proses belajar mengajar mengindikasikan bahwa belajar mengajar dengan
menggunakan media pembelajaran akan meningkatkan efisiensi pembelajaran, guru
dapat tetap menjaga relevansi materi dengan tujuan pembelajaran, dan akan
sangat membantu siswa untuk berkonsentrasi dalam mengikuti proses pembelajaran.
Tujuan penggunaan media pembelajaran
Pendidikan Agama Islam adalah sebagai alat bantu pembelajaran, yaitu:
mempermudah proses pembelajaran, meningkatkan efisiensi pembelajaran, menjaga
relevansi materi dengan tujuan pembelajaran, dan membantu konsentrasi siswa.
3. Fungsi
Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Sebagai alat bantu, media berfungsi
melicinkan jalan untuk mencapai tujuanpembelajaran (Ramayulis
2002, hlm. 190).
Sebagai pelicin jalan mencapai tujuan
pembelajaran media harus mampumenyampaikan pesan dari guru kepada
siswa. Harus diingat bahwa pembelajaranmerupakan proses
komunikasi antara guru dan siswa. Dalam proses komunikasi haru sada
pesan yang disampaikan, pesan dalam hal ini berupa materi pembelajaran. Pesan
harus disampaikan dengan media yang cocok dan kreatif, sehingga siswa akan
terangsang untuk mengikuti proses pembelajaran dengan serius dan aktif.
Fungsi
media pembelajaran Pendidikan Agama Islam antara lain: memperlancar interaksi
antara guru dan siswa, serta perangsang pembelajaran.
4. Manfaat
Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Bahri Djamarah (2002, hlm.138)
menyebutkan bahwa media pengajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa
dalam pengajaran, yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil
belajar yang dicapainya. Ramayulis (2002, hlm. 190) menyebutkan
bahwa proses belajar mengajar dengan bantuan
media akan mempertinggi kegiatan belajar anak didik dalam tenggang
waktu yang cukup lama. Itu berarti kegiatan belajar anak didik dengan bantuan
media akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih baik daripada tanpa
bantuan media.
Media pembelajaran Pendidikan Agama
Islam sangat bermanfaat dalam proses belajar mengajar. Beberapa manfaat
tersebut antara lain: penyeragamanan penyampaian materi, materi lebih jelas dan
menarik, pembelajaran lebih interaktif, efisiensi waktu dan tenaga,
meningkatkan kualitas hasil pembelajaran, pembelajaran dapat dilakukan kapanpun
dan di manapun, menumbuhkan sikap positif dalam belajar, pembelajaran lebih
bervariasi, dan siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar.
5. Ciri-Ciri
Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Gerlach dan Ely sebagaimana dikutip oleh
Arsyad (2011, hlm. 12-14) mengemukakan tiga ciri media, yaitu: ciri fiksatif (fixative
property), ciri manipulatif (manipulative property), dan ciri distributif
(distributive property).
Sebuah media pembelajaran dikatakan
memiliki ciri fiksatif apabila media pembelajaran tersebut mampu merekam,
menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau objek.
Media pembelajaran dikatakan memiliki
ciri manipulatif apabila media pembelajaran tersebut mampu mentransformasi
suatu kejadian atau objek. Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat
disajikan kepada siswa dalam waktu dua atau tiga menit dengan teknik
pengambilan gambar. Kemampuan media dari ciri manipulatif memerlukan perhatian
sungguh-sungguh karena apabila terjadi kesalahan dalam pengaturan kembali
urutan kejadian atau pemotongan bagian-bagian yang salah, maka akan terjadi
pula kesalahan penafsiran yang tentu saja akan membingungkan dan bahkan
menyesatkan sehingga dapat mengubah sikap mereka kearah yang tidak diinginkan.
Media pembelajaran dikatakan memiliki
ciri distributif apabila suatu objek atau
kejadian mampu ditransformasikan melalui ruang dan secara bersamaan
kejadian tersebut disajikan kepada sejumlah besar siswa dengan stimulus
pengalaman yang relatif sama mengenai kejadin tersebut.
6. Jenis
Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Basyiruddin Usman (2002, hlm.127-128)
menggolongkan media menjadi delapan kategori, yaitu: realthings, verval
representation, grafic representation, still picture, motion picture, audio
(recording), simulation.
Usaha Nabi dalam menanamkan akidah agama
yang dibawanya dapat diterima dengan mudah oleh umatnya yaitu dengan
menggunakan media yang tepat berupa media contoh/teladan perbuatan-perbuatan
baik nabi sendiri (Uswatun Khasanah). Istilah ”Uswatun
Khasanah” barangkali dapat diidentifikasikan dengan ”demonstrasi” yaitu
memberikan contoh dan menunjukkan tentang cara berbuat atau melakukan sesuatu. Media
ini selalu digunakan nabi dalam mengajarkan ajaran-ajaran agama kepada
umatnya, misalnya dalam mempraktekkan sholat dan lain-lain. Selanjutnya,
melalui suri tauladan atau model perbuatan dan tindakan yang
baik, maka guru agama akan dapat menumbuhkembangkan sifat dan sikap yang baik
pula terhadap anak didik. Begitupula sebaliknya. (Basyiruddin Usman 2002, hlm.
116)
Kemudian daripada itu, media pendidikan
agama dapat juga diartikan semua aktivitas yang ada hubungannya dengan materi
pendidikan agama, baik yang berupa alat yang dapat diperagakan maupun
teknik/metode yang secara efektif dapat digunakan
oleh guru agama dalam rangka mencapai tujuan tertentu dan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. (Nawawi 1993, hlm. 213)
Media
pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis,
yaitu:
a. Media
yang bersifat benda
1) Media
visual, misal: grafik, diagram, chart, bagan, poster, dan komik.
2) Audial,
misal: radio, tape recorder, dan laboratorium.
3) Projected
still media, misal: slide, OHP, dan infocus.
4) Projected
motion media, misal: film, televisi, video, komputer, dan internet.
b. Media
yang bersifat bukan benda
Media
yang bersifat bukan benda meliputi keteladanan, perintah/larangan, dan
ganjaran/hukuman.
Setiap media pembelajaran memiliki
karakteristik masing-masing, khususnya kelebihan dan kekurangannya. Oleh karena
itu, guru harus benar-benar memperhatikan karakteristik dari masing-masing
media tersebut. Ketika media yang dipilih tidak tepat, maka pembelajaran tidak akan
berjalan lebih baik, karena media pembelajaran tidak dapat berfungsi dengan
baik sebagai alat bantu yang memperlancar kegiatan belajar mengajar.
7. Pemilihan
Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Tidak semua media pembelajaran cocok
digunakan dalam proses pembelajaran, untuk itu perlu dilakukan pertimbangan
dalam memilih media supaya penggunaan media pembelajaran tersebut benar dan
tepat. Media yang digunakan guru PAI harus tepat dan sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Oleh karena itu, untuk menentukan media yang tepat guru PAI harus
memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan pemilihan media, antara lain:
a. Kesesuaian
media dengan tujuan pembelajaran,
b. Kesesuaian
media dengan tingkat kemampuan siswa,
c. Ketersediaan
sumber belajar,
d. Ketersediaan
dana/ biaya, dan
e. Kesesuaian
media dengan teknik yang dipakai. (Basyiruddin Usman 2002, hlm.128)
Keterkaiatan antara media
pembelajaran dengan tujuan, materi, metode, dan kondisi pembelajar, harus
menjadi perhatian dan pertimbangan pengajar untuk memilih dan menggunakan media
dalam proses pembelajaran dikelas, sehingga media yang digunakan lebih efektif
dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sebab media pembelajaran tidak
dapat berdiri sendiri, tetapi terkait dan memiliki hubungan secara timbalebalik
dengan empat aspek tersebut. Dengan demikian, alat-alat, sarana,
atau media pembelajaran yang digunakan harus disesuaikan dengan empat aspek
tersebut, untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Pemilihan media pembelajaran Pendidikan
Agama Islam harus memperhatikan: tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran,
metode mengajar, alat yang dibutuhkan, pribadi guru yang mengajar, minat dan
kemampuan mengajar, situasi pembelajaran, dan kondisi siswa.
8. Keberhasilan
Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pada proses belajar mengajar guru harus
mempunyai keahlian dalam menggunakan berbagai macam media pembelajaran,
terutama media yang digunakan dalam proses mengajarnya, sehingga materi ataupun
pesan yang disampaikan akan tersalurkan dengan baik pula.
Keberhasilan penggunaan media
pembelajaran Pendidikan Agama Islam tergantung pada: isi pesan, cara penjelasan
pesan, dan karakteristik penerima pesan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengertian media pembelajaran Pendidikan
Agama Islam adalah sebagai perantara atau pengantar, alat bantu mengajar,
sarana pembawa/penyalur pesan, sumber belajar, dan alat perangsang siswa agar
pembelajaran menjadi lebih konkrit dan siswa terlibat aktif dalam proses
pembelajaran.
Tujuan
penggunaan media pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sebagai alat bantu
pembelajaran, yaitu mempermudah proses pembelajaran, meningkatkan efisiensi
pembelajaran, menjaga relevansi materi dengan tujuan pembelajaran, dan membantu
konsentrasi siswa.
Ciri-ciri
media pembelajaran adalah ciri fiksatif (fixative property), ciri
manipulatif (manipulative property), dan ciri distributif (distributive
property).
Media
pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis,
yaitu media bersifat benda dan media bersifat bukan benda. Media
bersifat benda antara lain: media visual, media audial, Projected still
media, danProjected motion media. Media bersifat bukan benda berupa
keteladanan, perintah/larangan, dan ganjaran/hukuman.
Pemilihan
media pembelajaran Pendidikan Agama Islam harus memperhatikan tujuan
pembelajaran, bahan pembelajaran, metode mengajar, alat yang dibutuhkan,
pribadi guru yang mengajar, minat dan kemampuan mengajar, situasi pembelajaran,
dan kondisi siswa.
Keberhasilan
penggunaan media pembelajaran Pendidikan Agama Islam tergantung pada isi pesan,
cara penjelasan pesan, dan karakteristik penerima pesan.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Arsyad, Azhar. 2011. Media
Pembelajaran. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
2.
Basyiruddin Usman dan Asnawir.
2002. Media Pembelajaran. Ciputat Pers, Jakarta.
3.
Basyiruddin Usman. 2002. Metodologi
Pembelajaran Agama Islam. Ciputat Pers, Jakarta.
4.
Daradjat, Zakiah. 1984. Ilmu
Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta.
5.
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan
Dalam Islam.Al-Ikhlas, Surabaya.
7.
Ramayulis. 2002. Ilmu Pendidikan
Islam. Kalam Mulia, Jakarta.
8.
Ramayulis. 2011. Filsafat
Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran
9.
para Tokohnya.
Kalam Mulia, Jakarta.
Syaiful Bahri Djamarah
dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Rineka
Cipta,Jakarta.
Saturday, 8 August 2015
MAKALAH TAZKIYAt an-NAFS (Mujahadah dan Riyadhah)
MAKALAH
TAZKIYAt
an-NAFS
(Mujahadah
dan Riyadhah)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah Swt dalam
dua dimensi jiwa. Ia memiliki karakter, potensi, orientasi, dan kecenderungan
yang sama untuk melakukan hal-hal positif dan negatif. Inilah salah satu ciri
spesifik manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya sehingga
manusia dikatakan sebagai makhluk alternatif. Artinya, manusia bisa menjadi
baik dan tinggi derajatnya dihadapan Allah atau sebaliknya, ia pun bisa menjadi
jahat dan jatuh terperosok pada porsi yang rendah dan buruk seperti hewan,
bahkan lebih rendah dari hewan.[1]
Dua dimensi jiwa manusia, yaitu positif
dan negatif senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi, dan berperang. Islam
sebagai agama yang haq memberikan tuntunan kepada manusia agar ia menggunakan
potensi ikhtiarnya untuk memiliki dan menciptakan lingkungan yang positif
sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan, tazkiyat atau penyucian
jiwa, dan tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwa.[2] Oleh
karena itu, makalah ini akan membahas tentang tazkiyatun-nafs, khususnya yaitu
mujahadah dan riyadhah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian dan tujuan tazkiyatun-nafs ?
2. Apa pengertian Mujahadah an-Nafs ?
3.
Apa pengertian Riyadhah an-Nafs?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tazkiyatun Nafs
Tazkiyah secara etimologis mempunyai dua
makna : penyucian dan pertumbuhan. Demikian pula maknanya secara istilah.
Zakatun-nafsi artinya penyucian (tathahhur) jiwa dari segala penyakit dan
cacat, merealisasikan (tahaqquq) berbagai maqam padanya, dan menjadikan asma’
dan sifat sebagai akhlaqnya (takhalluq). [3]
Tazkiyatun-nafs secara singkat berarti
membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan
kesuciannya dengan tauhid dan cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah
yang baik sebagai akhlaknya, disamping ‘ubudiyah yang sempurna kepada Allah
dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah. Semua itu melalui peneladanan
kepada Rasulullah saw. [4]
Tazkiyah an-nafs (membersihkan jiwa)
merupakan salah satu tugas yang diemban rasulullah saw. pengertian tersebut
dapat dilihat dalam kitab-kitab tafsir. Sebagaimana Allah Berfirman dalam Surah
Al-Jumu’ah :2
uqèd “Ï%©!$# y]yèt/ ’Îû z`¿Íh‹ÏiBW{$# Zwqß™u‘ öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.t“ãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% ’Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7•B ÇËÈ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta
huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah).
dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”
Menurut
Ibnu Abbas, kalimat Yuzakkihim berarti “membersihkan hati dengan iman.”[5]
Menurut Imam Suyuthi, “mensucikan mereka dari kotoran-kotoran akidah dan kotoran-kotoran
Jahiliyah”.[6] Sedangkan dari segi akhlak tasawuf ada para ahli yang
mengartikan tazkiyatun-nafs dengan takhliyat al-nafs (mengosongkan diri dari
akhlak tercela) dan tahliyat al-nafs (mengisinya dengan akhlak terpuji), dengan
begitu orang mudah mendekatkan diri kepada Allah.[7]
Dengan demikian, pengertian tazkiyat
al-nafs berhubungan erat dengan soal akhlak dan kejiwaan, serta dalam islam
berfungsi sebagai pola pembentukan manusia yang berakhlak baik dan bertakwa
kepada Allah. Karenanya, siapapun yang mengharapkan Allah dan hari akhir, mesti
memperhatikan kebersihan jiwanya. Allah juga menjadikan kebahagiaan seorang
hamba tergantung kepada tazkiyah an-nafs. Hal ini di sebutkan dalam al-Qur’an
setelah disebutkannya sebelas sumpah secara beruntun. Suatu keistimewaan yang
tidak dimiliki hal lain[8].
ħ÷K¤±9$#ur $yg8ptéÏur ÇÊÈ ÌyJs)ø9$#ur #sŒÎ) $yg9n=s? ÇËÈ Í‘$pk¨]9$#ur #sŒÎ) $yg9¯=y_ ÇÌÈ È@ø‹©9$#ur #sŒÎ) $yg8t±øótƒ ÇÍÈ Ïä!$uK¡¡9$#ur $tBur $yg9t^t/ ÇÎÈ ÇÚö‘F{$#ur $tBur $yg8yssÛ ÇÏÈ <§øÿtRur $tBur $yg1§qy™ ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $ydu‘qègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ô‰s% yxn=øùr& `tB $yg8©.y— ÇÒÈ ô‰s%ur z>%s{ `tB $yg9¢™yŠ ÇÊÉÈ
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari.
Dan bulan apabila mengiringinya. Dan siang apabila menampakkannya. Dan malam apabila
menutupinya.[9] Dan langit serta pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya.
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(Q.S. Asy-Syams:1-10)
Hal
yang termasuk dalam tazkiyatun nafs adalah penyucian dari:
a. Kufur, nifaq, kefasikan, dan bid’ah
b. Kemusyrikan dan riya
c. Cinta kedudukan dan kepemimpinan
d. Kedengkian
e. ‘ujub
f. Kesombongan
|
g. Kebakhilan
h. Keterpedayaan
i. Amarah yang zalim
j. Cinta dunia
|
Tahaqquq terdiri atas
hal-hal berikut:
a. Tauhid dan ubudiyah
b. Ikhlas
c. Shidiq kepada Allah
d. Zuhud
e. Tawakkal
f. Mahabbatullah
|
g. Takut dan harap
h. Taqwa dan wara’
i. Syukur
j. Sabar, taslim dan ridha
k. Muraqabah dan musyahadah (ihsan)
|
B.
Mujahadah
Mujâhadah menurut bahasa berasal dari
kata Jahada, seakar dengan kata Jihad, artinya bersungguh-sungguh agar sampai
kepada tujuan.[12] Secara lebih luas,mujâhadah
adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu
(keinginan-keinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya jiwa menjadi
suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa saja yang bersifat
suci, sehingga ia berhak memperoleh pelbagai pengetahuan yang hakiki tentang
Allah dan kebesaran-Nya. Mujahadah bersighat isim maf’ul dari tsulatsi mazid
karena menyatakan sebuah proses tanpa akhir, istilah dalam ilmu tashawuf selalu
menggunakan isim maf’ul. Perbedaan antara mujahadah dan mujahid adalah terletak
pada objek yang diperanginya. Para mujahid berjuang memerangi kafir yang
jelas-jelas memusuhi secara nyata, sedangkan mujahadah berperang melawan hawa
nafsu, jelas sangat sulit sekali, karena hawa nafsu berada di dalam diri kita.
Dengan demikian, mujâhadah merupakan
tindakan perlawanan terhadap nafsu, sebagaimana usaha memerangi semua sifat dan
perilaku buruk yang ditimbulkan oleh nafsu amarahnya, yang lazim disebut
mujâhadah al-nafs.[13] Berkaitan dengan ini, Allah Swt. berfirman,
z`ƒÏ%©!$#ur (#r߉yg»y_ $uZŠÏù öNåk¨]tƒÏ‰öks]s9 $uZn=ç7ß™ 4 ¨bÎ)ur ©!$# yìyJs9 tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÏÒÈ
“ Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik.”(Q.S. Al-Ankabut : 69)
Dalam kaitan ini Imam Ibn al-Qayyim
berkata: “Allah menggantungkan hidayah dengan laku jihad. Maka orang yang paling sempurna
hidayah (yang diperoleh)-nya adalah dia yang paling besar laku jihadnya. Jihad
yang paling fardu adalah jihad melawan nafsu, melawan syahwat, melawan syetan,
melawan rayuan duniawi. Siapa yang bersungguh-sungguh dalam jihad melawan
keempat hal tersebut, Allah akan menunjukkan padanya jalan ridha-Nya, yang akan
mengantarkannya ke pintu surga-Nya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan jihad,
maka ia akan sepi dari hidayah…”
Al-Ghazali mengibaratkan manusia sebagai
sebuah kerajaan. Dimana jiwa sebagai rajanya, wilayahnya adalah tubuh, serta
alat indra dan anggota badan lainnya sebagai tentaranya. Akal sebagai wazir,
serta hawa nafsu beserta sifat marah sebagi polisinya. Raja dan wazir selalu
berusaha membawa manusia kejalan yang baik dan diridhoi Allah. Sebaliknya, hawa
nafsu dan sifat marah selalu mengajak manusia ke jalan yang sesat dan dimurkai
Allah. Agar tercipta ketenangan dan kebahagiaan dalam kerajaan (diri manusia),
kekuasaan raja dan wazir harus berada diatas kekuasaan hawa Nafsu dan sifat
marah. Kalau sebaliknya yang terjadi, pertanda kerajaan itu akan runtuh dan
binasa.[14]
Menurut Al-Ghazali, Badan itu bukan
tempatnya jiwa karena sesuatu yang bersifat jauhar (substansi, zat, hakikat)
tidak mendiami suatu tempat tertentu. Badan itu adalah alat bagi jiwa,
sedangkan badan tidak bisa memperalat jiwa. Karena jiwa bersifat baqa sedangkan
badan bersifat fana.[15]
Kita telah mengetahui bahwa mengobati
sakit tubuh adalah dengan mempertemukan sesuatu dengan lawannya. Demikian pula
dalam penyakit hati. Hal itu berbeda untuk setiap individu, karena watak itu
berbeda-beda.[16]
Dalam dunia tasawuf, kata jihad
diartikan dengan memerangi hawa nafsu.
Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. bahwa memerangi hawa nafsu itu lebih
berat dan lebih besar daripada memerangi orang-orang kafir. Jika kita telusuri dari sudut pandang
normatifnya, jelas karena agama sangat menganjurkan lelaku atau amaliah ini.
Sampai-sampai, Nabi Saw menyebutnya sebagai jihad akbar (al-jihad al-akbar),
yang nilainya lebih utama dibanding jihad memerangi orang-orang kafir (qital)
yang disebut oleh beliau sebagai jihad kecil (al-jihad al-asghar).
Jika kita menilik secara hakiki, nafsu-diri, atau
disebut sebagai hawa nafsu, merupakan “poros kejahatan” (ma’wa kulli syarrin).
Karena, nafsu-diri memiliki kecenderungan untuk mencari pelbagai kesenangan,
masa bodoh terhadap hak-hak yang musti ditunaikan, serta abai terhadap
kewajiban-kewajiban. Siapa pun yang gemar menuruti apa saja yang diinginkan
oleh hawa nafsunya, maka sesungguhnya ia telah tertawan dan diperbudak oleh
nafsunya itu. Inilah kenapa Nabi Saw menegaskan bahwa jihad melawan nafsu lebih
dahsyat daripada jihad melawan musuh (qital). Sebabnya adalah, nafsu itu
digemari, disenangi, dicintai, dan segala hal yang mengarah kepada nafsu
pastilah menyenangkan. Sehingga, jihad melawan hawa nafsu adalah jihad melawan
hal-hal yang kita senangi, yang kita cintai.
Sebaliknya, jihad melawan orang-orang kafir adalah jihad melawan sesuatu
(manusia, makhluk) yang kita musuhi, kita benci. Bahkan Rasulullah s.a.w.
setelah kembali dari satu peperangan besar bersabda kepada sahabat-sahabatnya:
“Kita ini kembali dari peperangan yang paling
kecil, menuju peperangan yang lebih besar”[17]
Setelah
Rasulullah s.a.w. ditanya sahabat, beliau menjawab bahwa peperangan yang lebih
besar itu ialah memerangi hawa nafsu.
Dalam hadits yang lain pula, Rasulullah s.a.w menggambarkan bagaimana
besarnya bahaya hawa nafsu:
“Bukanlah orang yang gagah berani itu
lantaran dia cepat melompati musuhnya didalam pertempuran, tetapi orang yang
berani ialah orang yang boleh menahan dirinya dari kemarahan”. (Hadits
riwayat Abu Daud)
Rasulullah
mengingatkan bahwa akhlak itu dapat diubah dengan tindakan. Maka hendaklah kita
berusaha menundukkan kemarahan, syahwat, dan kejahatan. Semua sifat ini adalah
dari petunjuk syariat. Jika kita melakukan hal itu, maka tujuan telah dicapai.
Hal itu dilakukan dengan kesabaran atas sesuatu yang kita tidak senangi agar
setelah itu menjadi kebiasaan. Rasulullah bersabda, “kebaikan itu adalah
kebiasaan.” Barang siapa yang pada asal fitrahnya tidak ada, misalnya
kedermawanan, maka biasakanlah hal itu walaupun dengan memaksakan diri,
sehingga menjadi terbiasa. Seperti itu pula sifat-sifat yang lainnya diobati
dengan kebalikannya hingga tercapai tujuan. Maka kelanggengan dalam beribadah
dan mengingkari syahwat akan membaguskan rupa bathin dan diperoleh keridhaan
Allah swt. Rasulullah Saw. bersabda, “ sembahlah Allah dengan kesenangan. Jika
tidak mampu , maka lakukanlah dalam kesabaran terhadap yang engkau benci. Maka
engkau memperoleh kebaikan. Pada permulaannya adalah sabar hingga menjadi
senang, karena asal fitrah menuntut rupa bathin yang baik. Hal itu ditunjukkan
dengan sabdanya, “satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipat,” karena
ia sesuai dengan asal fitrah. [18]
Dalam
memerangi nafsu manusia terbagi 3 golongan :
1. Golongan
yang tunduk mengikuti nafsu
Mereka hidup dengan kemaksiatan diatas
muka bumi dan ingin hidup kekal didunia. Mereka adalah orang-orang kafir dan
orang yang mengikuti mereka. Golongan ini lupa dan lalai (kebesaran dan nikmat)
Allah, lalu Allah juga membiarkan mereka
Allah
berfirman :
|M÷ƒuätsùr& Ç`tB x‹sƒªB$# ¼çmyg»s9Î) çm1uqyd ã&©#|Êr&ur ª!$# 4’n?tã 5Où=Ïæ tLsêyzur 4’n?tã ¾ÏmÏèøÿxœ ¾ÏmÎ7ù=s%ur Ÿ@yèy_ur 4’n?tã ¾ÍnÎŽ|Çt/ Zouq»t±Ïî `yJsù ÏmƒÏ‰öku‰ .`ÏB ω÷èt/ «!$# 4 Ÿxsùr& tbrã©.x‹s? ÇËÌÈ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan
ilmu-Nya[19]dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?” (Q.S. Al Jatsiyah : 23)
2. Golongan
yang memerangi dan bertarung menentang nafsu
Dalam menentang hawa nafsunya ada kalanya golongan
ini mencapai kemenangan dan adakalanya mereka kalah. Namun apabila terlihat
dalam kesalahan mereka akan segera bertaubat. Begitu juga bila mereka mlakukan
maksiat mereka akan segera sadar dan menyesal serta memohon ampun kepada Allah.
Allah
berfirman :
šúïÏ%©!$#ur #sŒÎ) (#qè=yèsù ºpt±Ås»sù ÷rr& (#þqßJn=sß öNæh|¡àÿRr& (#rãx.sŒ ©!$# (#rãxÿøótGó™$$sù ö
NÎgÎ/qçRä‹Ï9 `tBur ãÏÿøótƒ šUqçR—%!$# žwÎ) ª!$# öNs9ur (#r•ŽÅÇム4’n?tã $tB (#qè=yèsù öNèdur šcqßJn=ôètƒ ÇÊÌÎÈ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri,[20] mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Q.S. Ali Imron : 135)
3. Golongan
yang berada dalam genggaman setan
Inilah
glongan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW, dalam sabdanya : Artinya : “setiap
anak adam (manusia) itu melakukan kesalahan, sebaik baiknya orang yang
melakukan kesalahan (dosa) ialah mereka yang bertobat (HR Ahmad dan Tirmidzi)
C.
Riyadhah
Riyâdhah artinya “latihan”. Maksudnya
adalah latihan rohaniah untuk menyucikan jiwa
dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Proses yang
dilakukan adalah dengan jalan melakukan pembersihan atau pengosongan jiwa dari
segala sesuatu selain Allah, kemudian menghiasi jiwanya dengan zikir, ibadah,
beramal saleh dan berakhlak mulia. Pekerjaan yang termasuk kedalam
amalanriyâdhah adalah mengurangi makan, mengurangi tidur untuk salat malam,
menghindari ucapan yang tidak berguna, dan berkhalwat yaitu menjauhi pergaulan
dengan orang banyak diisi dengan ibadah, agar bisa terhindar dari perbuatan
dosa.[21]
Tujuan riyâdhah bagi seorang sufi adalah untuk
mengontrol diri, baik jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci.[22] Karena
itu, riyâdhah haruslah dilakukan secara sungguh-sungguh dan penuh dengan kerelaan.
Riyâdhah yang dilakukan dengan kesungguhan dapat menjaga seseorang dari berbuat
kesalahan, baik terhadap manusia ataupun makhluk lainnya, terutama terhadap
Allah Swt. Dan bagi seorang sufi riyâdhah merupakan sarana untuk mengantarkan
dirinya lebih lanjut pada tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.[23]
Salah
satu bagian yang terdapat tasawuf adalah riyadhah (latihan-latihan ibadah).
Riyadhah yang biasa dilakukan antara lain:
1. Bertobat.
Ia harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat
dosa lagi sembari melafalkan dzikir dan wirid-wirid tertentu.
2. Untuk
memantapkan tobatnya ia harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri dari dunia materi
dan dunia ramai serta fokus beribadah.
3. Wara’.
Ia harus menjauhkan dirinya dari perbuatan syubhat dan tidak memakan makanan
atau minuman yang tidak jelas kedudukan halal-haramnya.
4. faqir.
Ia harus menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia
tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban
agamanya.
5. Sabar.
Bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Allah yang berat dan menjauhi
larangan-larangan-Nya, tetapi juga sabar dalam menerima musibah berat yang
ditimpakan Allah.
6. Tawakal.
Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari
esok karena bagi seorang sufi cukup apa yang ada untuk hari ini karena esok
belum tentu masih hidup.
7. Ridha.
Ia tidak menentang cobaan dari Allah, bahkan menerimanya dengan sepenuh hati.
Karena itu, seorang sufi tidak menyimpan perasaan benci kepada siapa pun karena
semua yang terjadi adalah bagian dari kehendak Allah.
Sebagaimana dikatakan di atas, mujâhadah
dan riyâdhah yang diamalkanmerupakan latihan rohaniah dalam rangka menyucikan
jiwa (tazkiyyatun nafs), agar hati diliputi nur Ilahiah, tersingkapnya rahasia
batin (mukâsyafah), merasakan nikmat dan lezatnya beribadah. Ini merupakan
keadaan (hâl) bagi seseorang dalam mendekatkan dirinya kepada Allah Swt.
Pencapaian tersebut tidak lepas dari jalan (tharîq) yang harus mereka lalui. Karena syariat bagaikan pohon, tarekat
bagaikan cabang, makrifat bagaikan daun, dan hakekat bagaikan buah”, demikian
ungkap As-Syekh Abdul Qadir Jaelani.[24] Dalam menempuh jalan, diumpamakan
cabang tersebut terdiri dari beberapa tingkatan (maqâmât) yang harus ditempuh satu
demi satu, dan memerlukan waktu yang panjang dan berat, mereka akan mengalami
berbagai keadaan batin yang disebut dengan ahwal. Jadi, maqâmât dan
ahwâlmerupakan tahap-tahap yang lazim dilalui oleh para sâlik menuju tujuan
puncaknya, yaitu mencapai ma`rifatullâh (buah).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tazkiyah secara etimologis yaitu
penyucian dan pertumbuhan. secara istilah berarti membersihkan jiwa dari
kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan
cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya,
disamping ‘ubudiyah yang sempurna kepada Allah dengan membebaskan diri dari
pengakuan rububiyah. Semua itu melalui peneladanan kepada Rasulullah saw.
Mujâhadah menurut bahasa berasal dari
kata Jahada, seakar dengan kata Jihad, artinya bersungguh-sungguh agar sampai
kepada tujuan. Secara lebih luas,mujâhadah
adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu
(keinginan-keinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya jiwa menjadi suci
bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa saja yang bersifat suci,
sehingga ia berhak memperoleh pelbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah
dan kebesaran-Nya.
Riyâdhah artinya “latihan”. Maksudnya
adalah latihan rohaniah untuk menyucikan jiwa
dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Tujuanriyâdhah bagi
seorang sufi adalah untuk mengontrol diri, baik jiwanya maupun badannya, agar
roh tetap suci dan merupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut
pada tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.
Daftar Pustaka
1. Al
Aziz, S., Moh. Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya :
Terbit Terang
2. Al-Ghazali.1980.
Ihya Ulum Al-Din, Juz 8. Beirut : Dar al-Fikr
3. --------------,2008.
Mutiara Ihya ‘Ulumuddin : Ringkasan yang Ditulis Oleh Sang Hujjatul Islam,
Bandung: PT Mizan Pustaka
4. Al-Jailani,
As-Syeikh Abdul Qadir.1996. Sirrur Asror, Terj. Suryalaya
5. Al-Jauziyyah,
Ibnu Qayyim. Al-Hambali, Ibnu Rajab.
Al-Ghazali, Imam.2004.Tazkiyatun Nafs : Konsep penyucian Jiwa Menurut
Ulama’ Salaf. Solo : Pustaka Arafah
6. Asmaran,1994.
Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada[1] Ibid
7. Hawwa,
Sa’id.1998. intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs
terpadu . Rabbani Press
8. Jaelani,
A.F. 2000. Penyucian Jiwa (tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental.Jakarta:
Penerbit Amzah
9. Mustafa,
Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasîth, Al-Da’wah, Cacgri-Istanbul, tth,
10. Suyuti,
Achmad, 1996. Percik-Percik Kesufian. Jakarta : Pustaka Amani
________________________________________
[1]
A.F. Jaelani, Penyucian Jiwa (tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental, (Jakarta:
Penerbit Amzah,2000), hal. 1
[2]
Ibid, hal. 2
[3]
Sa’id Hawwa, intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs
terpadu (Rabbani Press, 1998), hal. 2
[4]
Ibid, hal. 173
[5]
Ibid, hal.45
[6]
Ibid
[7]
Ibid, hal.47
[8]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu Rajab Al-Hambali, Imam Al-Ghazali,Tazkiyatun
Nafs : Konsep penyucian Jiwa Menurut Ulama’ Salaf, (Solo : Pustaka Arafah,
2004) hal.viii
[9]
Maksudnya: malam-malam yang gelap
[10]
Sa’id Hawwa, intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs
terpadu (Rabbani Press, 1998), hal. 180
[11]
Ibid, hal. 314
[12]
Mustafa, Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasîth, Al-Da’wah, Cacgri-Istanbul, tth,
hal. 142.
[13]
Suyuti, Achmad, Percik-Percik Kesufian, (Jakarta : Pustaka Amani, 1996), hal.
125.
[14]
Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, Juz 8, (Beirut : Dar al-Fikr, 1980) hal. 11-12
[15]
Ibid, hal 37
[16]
Al-Ghazali, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin : Ringkasan yang Ditulis Oleh Sang Hujjatul
Islam, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008) hal. 224
[17]
Ibid, hal.222
[18]
Ibid, hal. 223-224
[19]
Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa
Dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.
[20]
Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya
tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba.
Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya
menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.
[21]
Ibid, hal.125-126
[22]
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) hal.
17.
[23]
Al Aziz, S., Moh. Saifulloh. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Terbit Terang,
Surabaya, 1998, hal. 104
[24]
Al-Jailani, As-Syeikh Abdul Qadir, Sirrur Asror, Terj. Suryalaya, 1996, hal. 44
Subscribe to:
Posts (Atom)