Monday 10 August 2015

MAKALAH MEDIA PEMBELAJARAN PAI



BAB I
A. Pendahuluan
Pembelajaran merupakan kegiatan yang bernilai edukatif yang mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dan siswa. Interaksi bernilai edukatif karena kegiatan yang dilakukan diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelum pembelajaran dilakukan. Guru dengan penuh kesadaran melakukan kegiatan secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatu untuk kepentingan pembelajaran.
Guru selalu dituntut agar materi pembelajaran yang disampaikan dapat dikuasai siswa secara tuntas. Hal ini menjadi permasalahan yang cukup sulit bagi guru, karena siswa bukan hanya sebagai individu dengan semua keunikannya, tetapi mereka juga sebagai makhluk sosial dengan latar belakang yang berbeda. Paling tidak ada tiga aspek yang membedakan siswa dengan yang lainnya, yaitu aspek intelektual, aspek psikologis, dan aspek biologis.
Ketiga aspek tersebut diakui sebagai akar permasalahan yang melahirkan sikap dan perilaku siswa bervariasi di sekolah. Hal itu pula yang menjadikan berat tugas guru dalam mengelola kelas dengan baik. Keluhan-keluhan guru sering terlontar hanya karena masalah kesulitan mengelola kelas. Akibat kegagalan guru mengelola kelas, tujuan pembelajaranpun sulit untuk dicapai. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi, apabila ada usaha yang dilakukan oleh guru. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meminimalkan jumlah siswa di kelas, mengaplikasikan beberapa prinsip pengelolaan kelas, memilih pendekatan pembelajaran yang tepat. Di samping itu, perlu memanfaatkan media pembelajaran yang telah ada dan mengupayakan pengadaan media pembelajaran baru demi mewujudkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.
Seiring dengan kemajuan teknologi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan di sekolah, maka penggunaan alat-alat atau media pembelajaran juga harus menyesuaikan dengan kemajuan teknologi tersebut. Penggunaan media teknologi membuat pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien. Tidak hanya itu, perkembangan pendidikan di sekolah semakin lama semakin mengalami perubahan dan mendorong berbagai usaha perubahan.
Saat ini, pembelajaran di sekolah mulai disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. Hal itu menyebabkan terjadi perubahan dan pergeseran paradigma pendidikan. Pembelajaran yang semula hanya menggunakan metode ceramah konvensional atau verbal semata menjadi pembelajaran yang lebih aktif dan menyenangkan. Pembelajaran yang semula siswa sebagai obyek pasif yang hanya menerima apa adanya dari guru, menjadi pembelajaran yang menuntut siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran aktif dan menyenangkan memerlukan sarana yang dapat digunakan sebagai perantara dalam proses pembelajaran untuk mempertinggi efektifitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan pembelajaran, setidaknya sarana yang efektif dan efisien dalam bentuknya, komponen lingkungannya, alat fisiknya, dan komunikasinya. Demikian pula dengan Pendidikan Agama Islam juga memerlukan sarana pembelajaran untuk meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam proses belajar mengajar. Sarana pembelajaran tersebut dikenal dengan istilah media pembelajaran.
Dalam proses belajar mengajar Pendidikan Agama Islam, kehadiran media pembelajaran sangat penting artinya dan merupakan suatu keharusan. Ketiadaan media sangat memengaruhi proses belajar mengajar, media pembelajaran dapat membantu mengatasi ketidakjelasan materi yang disampaikan menjadi jelas dan mudah diterima oleh siswa.






BAB II
Pembahasan

1. Pengertian Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Arsyad (2011, hlm.3) menyebutkan, ”Kata media berasal dari bahasa Latin mediusyang berarti tengah, perantara, pengantar. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara (وسائل) atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan”.  Pengertian ini mengacu pada perantara yang mendistribusikan pesan dari pemberi pesan kepada penerima pesan. Perantara dapat berbentuk alat fisik, sebagaimana pendapat Briggs seperti dikutip oleh Ramayulis (2011, hlm. 250) yang mendefinisikan media sebagai segala bentuk alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat merangsang siswa untuk belajar.
Alat fisik yang digunakan untuk menyajikan pesan kepada penerimanya untuk merangsang siswa agar mau dan aktif dalam belajar. Pengertian tersebut senada dengan pendapat Rustyah NK sebagaimana dikutip oleh Ramayulis (2011, hlm. 250) menyebutkan bahwa pengertian media mengacu pada penggunaan alat yang berupa benda untuk membantu proses penyampaian pesan.
Ada kata kunci baru yang muncul dari pengertian menurut Rustyah, yaitu media sebagai alat bantu proses penyampaian pesan. Alat bantu mempunyai pengertian yang lebih luas dari sekedar alat berbentuk fisik. Hal ini lebih dipertegas oleh Basyiruddin Usman (2002, hlm.127) yang menyebutkan, ”Pengertian media secara lebih luas dapat diartikan manusia, benda atau peristiwa yang membuat kondisi siswa memungkinkan memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap”. Demikian pula pendapat Gegne sebagaimana dikutip oleh Ramayulis (2011, hlm.250) menyebutkan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar.
Kedua pendapat terakhir mengandung pengertian yang lebih luas dibanding dengan pengertian-pengertian sebelumnya. Media merupakan semua komponen yang terkait dengan proses penyampaian pesan. Media pembelajaran dan alat pembelajaran mempunyai pengertian yang sama, sebagaimana pendapat Daradjat (1984, hlm.80) yang menyebutkan bahwa pengertian alat pendidikan sama dengan media pendidikan sebagai sarana pendidikan.
Media pembelajaran merupakan media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu guru dalam mengajar serta sarana pembawa pesan dari sumber belajar ke penerima pesan belajar (siswa). Sebagai penyaji dan penyalur pesan, media pembelajaran dalam hal-hal tertentu bisa mewakili guru menyajikan informasi belajar kepada siswa. Jika media pembelajaran didesain dan dikembangkan secara baik, maka peran guru  dapat diperankan oleh media pembelajaran meskipun tanpa keberadaan guru.
Keberadaan media pembelajaran akan menjadikan materi pembelajaran yang bersifat abstrak menjadi lebih konkrit. Siswa menjadi aktif dan memperoleh pengalaman langsung melalui media pembelajaran.
Secara garis besar pengertian media pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sebagai perantara atau pengantar, alat bantu mengajar, sarana pembawa/penyalur pesan, sumber belajar, dan alat perangsang siswa agar pembelajaran menjadi lebih konkrit dan siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsangpikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar yang efektif dan efisien.
2. Tujuan Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Basyiruddin Usman (2002, hlm. 19) menyebutkan, ”Media pengajaran digunakan dalam rangka upaya peningkatan atau mempertinggi mutu proses kegiatan belajar mengajar”. Peningkatan mutu proses kegiatan belajar mengajar menjadi tujuan dari penggunaan media pembelajaran. Mutu proses belajar mengajar mengindikasikan bahwa belajar mengajar dengan menggunakan media pembelajaran akan meningkatkan efisiensi pembelajaran, guru dapat tetap menjaga relevansi materi dengan tujuan pembelajaran, dan akan sangat membantu siswa untuk berkonsentrasi dalam mengikuti proses pembelajaran.
Tujuan penggunaan media pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sebagai alat bantu pembelajaran, yaitu: mempermudah proses pembelajaran, meningkatkan efisiensi pembelajaran, menjaga relevansi materi dengan tujuan pembelajaran, dan membantu konsentrasi siswa.

3. Fungsi Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Sebagai alat bantu, media berfungsi melicinkan jalan  untuk mencapai tujuanpembelajaran (Ramayulis 2002, hlm. 190).
Sebagai pelicin jalan mencapai tujuan pembelajaran media harus mampumenyampaikan pesan dari guru kepada siswa. Harus diingat bahwa pembelajaranmerupakan proses komunikasi antara guru dan siswa. Dalam proses komunikasi haru sada pesan yang disampaikan, pesan dalam hal ini berupa materi pembelajaran. Pesan harus disampaikan dengan media yang cocok dan kreatif, sehingga siswa akan terangsang untuk mengikuti proses pembelajaran dengan serius dan aktif.
Fungsi media pembelajaran Pendidikan Agama Islam antara lain: memperlancar interaksi antara guru dan siswa, serta perangsang pembelajaran.

4. Manfaat Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Bahri Djamarah (2002, hlm.138) menyebutkan bahwa media pengajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran, yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapainya. Ramayulis (2002, hlm. 190) menyebutkan bahwa proses belajar mengajar dengan bantuan media akan mempertinggi kegiatan belajar anak didik dalam tenggang waktu yang cukup lama. Itu berarti kegiatan belajar anak didik dengan bantuan media akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih baik daripada tanpa bantuan media.
Media pembelajaran Pendidikan Agama Islam sangat bermanfaat dalam proses belajar mengajar. Beberapa manfaat tersebut antara lain: penyeragamanan penyampaian materi, materi lebih jelas dan menarik, pembelajaran lebih interaktif, efisiensi waktu dan tenaga, meningkatkan kualitas hasil pembelajaran, pembelajaran dapat dilakukan kapanpun dan di manapun, menumbuhkan sikap positif dalam belajar, pembelajaran lebih bervariasi, dan siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar.
5. Ciri-Ciri Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Gerlach dan Ely sebagaimana dikutip oleh Arsyad (2011, hlm. 12-14) mengemukakan tiga ciri media, yaitu: ciri fiksatif (fixative property), ciri manipulatif (manipulative property), dan ciri distributif (distributive property).
Sebuah media pembelajaran dikatakan memiliki ciri fiksatif apabila media pembelajaran tersebut mampu merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau objek.
Media pembelajaran dikatakan memiliki ciri manipulatif apabila media pembelajaran tersebut mampu mentransformasi suatu kejadian atau objek. Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat disajikan kepada siswa dalam waktu dua atau tiga menit dengan teknik pengambilan gambar. Kemampuan media dari ciri manipulatif memerlukan perhatian sungguh-sungguh karena apabila terjadi kesalahan dalam pengaturan kembali urutan kejadian atau pemotongan bagian-bagian yang salah, maka akan terjadi pula kesalahan penafsiran yang tentu saja akan membingungkan dan bahkan menyesatkan sehingga dapat mengubah sikap mereka kearah yang tidak diinginkan.
Media pembelajaran dikatakan memiliki ciri distributif apabila suatu objek atau kejadian mampu ditransformasikan melalui ruang dan secara bersamaan kejadian tersebut disajikan kepada sejumlah besar siswa dengan stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadin tersebut.
6. Jenis Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Basyiruddin Usman (2002, hlm.127-128) menggolongkan media menjadi delapan kategori, yaitu: realthings, verval representation, grafic representation, still picture, motion picture, audio (recording), simulation.
Usaha Nabi dalam menanamkan akidah agama yang dibawanya dapat diterima dengan mudah oleh umatnya yaitu dengan menggunakan media yang tepat berupa media contoh/teladan perbuatan-perbuatan baik nabi sendiri (Uswatun Khasanah). Istilah  ”Uswatun Khasanah” barangkali dapat diidentifikasikan dengan ”demonstrasi” yaitu memberikan contoh dan menunjukkan tentang cara berbuat atau melakukan sesuatu. Media ini selalu digunakan nabi dalam mengajarkan ajaran-ajaran agama kepada umatnya, misalnya dalam mempraktekkan sholat dan lain-lain.  Selanjutnya, melalui suri tauladan  atau model perbuatan dan tindakan yang baik, maka guru agama akan dapat menumbuhkembangkan sifat dan sikap yang baik pula terhadap anak didik. Begitupula sebaliknya. (Basyiruddin Usman 2002, hlm. 116)
Kemudian daripada itu, media pendidikan agama dapat juga diartikan semua aktivitas yang ada hubungannya dengan materi pendidikan agama, baik yang berupa alat yang dapat diperagakan maupun teknik/metode yang secara efektif dapat digunakan oleh  guru  agama dalam rangka mencapai tujuan tertentu dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. (Nawawi 1993, hlm. 213)
Media pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. Media yang bersifat benda
1)  Media visual, misal: grafik, diagram, chart, bagan, poster, dan komik.
2)  Audial, misal: radio, tape recorder, dan laboratorium.
3)  Projected still media, misal: slide, OHP, dan infocus.
4)   Projected motion media, misal: film, televisi, video, komputer, dan internet.
b. Media yang bersifat bukan benda
Media yang bersifat bukan benda meliputi keteladanan, perintah/larangan, dan ganjaran/hukuman.
Setiap media pembelajaran memiliki karakteristik masing-masing, khususnya kelebihan dan kekurangannya. Oleh karena itu, guru harus benar-benar memperhatikan karakteristik dari masing-masing media tersebut. Ketika media yang dipilih tidak tepat, maka pembelajaran tidak akan berjalan lebih baik, karena media pembelajaran tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai alat bantu yang memperlancar kegiatan belajar mengajar.
7.  Pemilihan Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Tidak semua media pembelajaran cocok digunakan dalam proses pembelajaran, untuk itu perlu dilakukan pertimbangan dalam memilih media supaya penggunaan media pembelajaran tersebut benar dan tepat. Media yang digunakan guru PAI harus tepat dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, untuk menentukan media yang tepat guru PAI harus memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan pemilihan media, antara lain:
a. Kesesuaian media dengan tujuan pembelajaran,
b. Kesesuaian media dengan tingkat kemampuan siswa,
c. Ketersediaan sumber belajar,
d. Ketersediaan dana/ biaya, dan
e.  Kesesuaian media dengan teknik yang dipakai. (Basyiruddin Usman 2002, hlm.128)
Keterkaiatan antara  media pembelajaran dengan tujuan, materi, metode, dan kondisi pembelajar, harus menjadi perhatian dan pertimbangan pengajar untuk memilih dan menggunakan media dalam proses pembelajaran dikelas, sehingga media yang digunakan lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sebab media pembelajaran tidak dapat berdiri sendiri, tetapi terkait dan memiliki hubungan secara timbalebalik dengan  empat aspek tersebut. Dengan demikian, alat-alat, sarana, atau media pembelajaran yang digunakan harus disesuaikan dengan empat aspek tersebut, untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Pemilihan media pembelajaran Pendidikan Agama Islam harus memperhatikan: tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran, metode mengajar, alat yang dibutuhkan, pribadi guru yang mengajar, minat dan kemampuan mengajar, situasi pembelajaran, dan kondisi siswa.
8. Keberhasilan Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pada proses belajar mengajar guru harus mempunyai keahlian dalam menggunakan berbagai macam media pembelajaran, terutama media yang digunakan dalam proses mengajarnya, sehingga materi ataupun pesan yang disampaikan akan tersalurkan dengan baik pula.
Keberhasilan penggunaan media pembelajaran Pendidikan Agama Islam tergantung pada: isi pesan, cara penjelasan pesan, dan karakteristik penerima pesan.














BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pengertian media pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sebagai perantara atau pengantar, alat bantu mengajar, sarana pembawa/penyalur pesan, sumber belajar, dan alat perangsang siswa agar pembelajaran menjadi lebih konkrit dan siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
Tujuan penggunaan media pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sebagai alat bantu pembelajaran, yaitu mempermudah proses pembelajaran, meningkatkan efisiensi pembelajaran, menjaga relevansi materi dengan tujuan pembelajaran, dan membantu konsentrasi siswa.
Ciri-ciri media pembelajaran adalah ciri fiksatif (fixative property), ciri manipulatif (manipulative property), dan ciri distributif (distributive property).
Media pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu  media bersifat benda dan media bersifat bukan benda. Media bersifat benda antara lain: media visual, media audial, Projected still media, danProjected motion media. Media bersifat bukan benda berupa keteladanan, perintah/larangan, dan ganjaran/hukuman.
Pemilihan media pembelajaran Pendidikan Agama Islam harus memperhatikan tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran, metode mengajar, alat yang dibutuhkan, pribadi guru yang mengajar, minat dan kemampuan mengajar, situasi pembelajaran, dan kondisi siswa.
Keberhasilan penggunaan media pembelajaran Pendidikan Agama Islam tergantung pada isi pesan, cara penjelasan pesan, dan karakteristik penerima pesan.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
2.      Basyiruddin Usman dan Asnawir. 2002. Media Pembelajaran. Ciputat Pers, Jakarta.
3.      Basyiruddin Usman. 2002. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Ciputat Pers, Jakarta.
4.      Daradjat, Zakiah. 1984. Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta.
5.      Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan Dalam Islam.Al-Ikhlas, Surabaya.
6.      http://www.google.co.id/imgres?imgurl (2013, Mei 1)
7.      Ramayulis. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia, Jakarta.
8.      Ramayulis. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran
9.      para Tokohnya. Kalam Mulia, Jakarta.
Syaiful Bahri Djamarah dan  Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta,Jakarta.

Saturday 8 August 2015

MAKALAH TAZKIYAt an-NAFS (Mujahadah dan Riyadhah)



MAKALAH
TAZKIYAt an-NAFS
(Mujahadah dan Riyadhah)


BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah Swt dalam dua dimensi jiwa. Ia memiliki karakter, potensi, orientasi, dan kecenderungan yang sama untuk melakukan hal-hal positif dan negatif. Inilah salah satu ciri spesifik manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk alternatif. Artinya, manusia bisa menjadi baik dan tinggi derajatnya dihadapan Allah atau sebaliknya, ia pun bisa menjadi jahat dan jatuh terperosok pada porsi yang rendah dan buruk seperti hewan, bahkan lebih rendah dari hewan.[1]
Dua dimensi jiwa manusia, yaitu positif dan negatif senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi, dan berperang. Islam sebagai agama yang haq memberikan tuntunan kepada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memiliki dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan, tazkiyat atau penyucian jiwa, dan tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwa.[2] Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang tazkiyatun-nafs, khususnya yaitu mujahadah dan riyadhah.
B.        Rumusan Masalah
1.  Apa pengertian dan tujuan tazkiyatun-nafs ?
2.  Apa pengertian Mujahadah an-Nafs ?
3.  Apa pengertian Riyadhah an-Nafs?
BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Tazkiyatun Nafs
Tazkiyah secara etimologis mempunyai dua makna : penyucian dan pertumbuhan. Demikian pula maknanya secara istilah. Zakatun-nafsi artinya penyucian (tathahhur) jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisasikan (tahaqquq) berbagai maqam padanya, dan menjadikan asma’ dan sifat sebagai akhlaqnya (takhalluq). [3]
Tazkiyatun-nafs secara singkat berarti membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya, disamping ‘ubudiyah yang sempurna kepada Allah dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah. Semua itu melalui peneladanan kepada Rasulullah saw. [4]
Tazkiyah an-nafs (membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang diemban rasulullah saw. pengertian tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitab tafsir. Sebagaimana Allah Berfirman dalam Surah Al-Jumu’ah :2
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ     
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata
Menurut Ibnu Abbas, kalimat Yuzakkihim berarti “membersihkan hati dengan iman.”[5] Menurut Imam Suyuthi, “mensucikan mereka dari kotoran-kotoran akidah dan kotoran-kotoran Jahiliyah”.[6] Sedangkan dari segi akhlak tasawuf ada para ahli yang mengartikan tazkiyatun-nafs dengan takhliyat al-nafs (mengosongkan diri dari akhlak tercela) dan tahliyat al-nafs (mengisinya dengan akhlak terpuji), dengan begitu orang mudah mendekatkan diri kepada Allah.[7]
Dengan demikian, pengertian tazkiyat al-nafs berhubungan erat dengan soal akhlak dan kejiwaan, serta dalam islam berfungsi sebagai pola pembentukan manusia yang berakhlak baik dan bertakwa kepada Allah. Karenanya, siapapun yang mengharapkan Allah dan hari akhir, mesti memperhatikan kebersihan jiwanya. Allah juga menjadikan kebahagiaan seorang hamba tergantung kepada tazkiyah an-nafs. Hal ini di sebutkan dalam al-Qur’an setelah disebutkannya sebelas sumpah secara beruntun. Suatu keistimewaan yang tidak dimiliki hal lain[8].
ħ÷K¤±9$#ur $yg8ptéÏur ÇÊÈ   ̍yJs)ø9$#ur #sŒÎ) $yg9n=s? ÇËÈ   Í$pk¨]9$#ur #sŒÎ) $yg9¯=y_ ÇÌÈ   È@ø©9$#ur #sŒÎ) $yg8t±øótƒ ÇÍÈ   Ïä!$uK¡¡9$#ur $tBur $yg9t^t/ ÇÎÈ   ÇÚöF{$#ur $tBur $yg8yssÛ ÇÏÈ   <§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ   $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan apabila mengiringinya. Dan siang apabila menampakkannya. Dan malam apabila menutupinya.[9] Dan langit serta pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams:1-10)
Hal yang termasuk dalam tazkiyatun nafs adalah penyucian dari:
a.       Kufur, nifaq, kefasikan, dan bid’ah
b.      Kemusyrikan dan riya
c.       Cinta kedudukan dan kepemimpinan
d.      Kedengkian
e.       ‘ujub
f.       Kesombongan
g.      Kebakhilan
h.      Keterpedayaan
i.        Amarah yang zalim
j.        Cinta dunia
k.      Mengikuti hawa nafsu.[10]

Tahaqquq terdiri atas hal-hal berikut:

a.       Tauhid dan ubudiyah
b.      Ikhlas
c.       Shidiq kepada Allah
d.      Zuhud
e.       Tawakkal
f.       Mahabbatullah
g.      Takut dan harap
h.      Taqwa dan wara’
i.        Syukur
j.        Sabar, taslim dan ridha
k.      Muraqabah dan musyahadah (ihsan)
l.        Taubat terus-menerus. [11]

B.         Mujahadah
Mujâhadah menurut bahasa berasal dari kata Jahada, seakar dengan kata Jihad, artinya bersungguh-sungguh agar sampai kepada tujuan.[12] Secara lebih luas,mujâhadah  adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu (keinginan-keinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya jiwa menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa saja yang bersifat suci, sehingga ia berhak memperoleh pelbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya. Mujahadah bersighat isim maf’ul dari tsulatsi mazid karena menyatakan sebuah proses tanpa akhir, istilah dalam ilmu tashawuf selalu menggunakan isim maf’ul. Perbedaan antara mujahadah dan mujahid adalah terletak pada objek yang diperanginya. Para mujahid berjuang memerangi kafir yang jelas-jelas memusuhi secara nyata, sedangkan mujahadah berperang melawan hawa nafsu, jelas sangat sulit sekali, karena hawa nafsu berada di dalam diri kita.
Dengan demikian, mujâhadah merupakan tindakan perlawanan terhadap nafsu, sebagaimana usaha memerangi semua sifat dan perilaku buruk yang ditimbulkan oleh nafsu amarahnya, yang lazim disebut mujâhadah al-nafs.[13] Berkaitan dengan ini, Allah Swt.  berfirman,
z`ƒÏ%©!$#ur (#rßyg»y_ $uZŠÏù öNåk¨]tƒÏöks]s9 $uZn=ç7ß 4 ¨bÎ)ur ©!$# yìyJs9 tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÏÒÈ  
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(Q.S. Al-Ankabut : 69)
Dalam kaitan ini Imam Ibn al-Qayyim berkata: “Allah menggantungkan hidayah dengan laku  jihad. Maka orang yang paling sempurna hidayah (yang diperoleh)-nya adalah dia yang paling besar laku jihadnya. Jihad yang paling fardu adalah jihad melawan nafsu, melawan syahwat, melawan syetan, melawan rayuan duniawi. Siapa yang bersungguh-sungguh dalam jihad melawan keempat hal tersebut, Allah akan menunjukkan padanya jalan ridha-Nya, yang akan mengantarkannya ke pintu surga-Nya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan jihad, maka ia akan sepi dari hidayah…”
Al-Ghazali mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan. Dimana jiwa sebagai rajanya, wilayahnya adalah tubuh, serta alat indra dan anggota badan lainnya sebagai tentaranya. Akal sebagai wazir, serta hawa nafsu beserta sifat marah sebagi polisinya. Raja dan wazir selalu berusaha membawa manusia kejalan yang baik dan diridhoi Allah. Sebaliknya, hawa nafsu dan sifat marah selalu mengajak manusia ke jalan yang sesat dan dimurkai Allah. Agar tercipta ketenangan dan kebahagiaan dalam kerajaan (diri manusia), kekuasaan raja dan wazir harus berada diatas kekuasaan hawa Nafsu dan sifat marah. Kalau sebaliknya yang terjadi, pertanda kerajaan itu akan runtuh dan binasa.[14]
Menurut Al-Ghazali, Badan itu bukan tempatnya jiwa karena sesuatu yang bersifat jauhar (substansi, zat, hakikat) tidak mendiami suatu tempat tertentu. Badan itu adalah alat bagi jiwa, sedangkan badan tidak bisa memperalat jiwa. Karena jiwa bersifat baqa sedangkan badan bersifat fana.[15]
Kita telah mengetahui bahwa mengobati sakit tubuh adalah dengan mempertemukan sesuatu dengan lawannya. Demikian pula dalam penyakit hati. Hal itu berbeda untuk setiap individu, karena watak itu berbeda-beda.[16]
Dalam dunia tasawuf, kata jihad diartikan dengan memerangi hawa nafsu.  Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. bahwa memerangi hawa nafsu itu lebih berat dan lebih besar daripada memerangi orang-orang kafir.  Jika kita telusuri dari sudut pandang normatifnya, jelas karena agama sangat menganjurkan lelaku atau amaliah ini. Sampai-sampai, Nabi Saw menyebutnya sebagai jihad akbar (al-jihad al-akbar), yang nilainya lebih utama dibanding jihad memerangi orang-orang kafir (qital) yang disebut oleh beliau sebagai jihad kecil (al-jihad al-asghar).
Jika kita menilik secara hakiki, nafsu-diri, atau disebut sebagai hawa nafsu, merupakan “poros kejahatan” (ma’wa kulli syarrin). Karena, nafsu-diri memiliki kecenderungan untuk mencari pelbagai kesenangan, masa bodoh terhadap hak-hak yang musti ditunaikan, serta abai terhadap kewajiban-kewajiban. Siapa pun yang gemar menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, maka sesungguhnya ia telah tertawan dan diperbudak oleh nafsunya itu. Inilah kenapa Nabi Saw menegaskan bahwa jihad melawan nafsu lebih dahsyat daripada jihad melawan musuh (qital). Sebabnya adalah, nafsu itu digemari, disenangi, dicintai, dan segala hal yang mengarah kepada nafsu pastilah menyenangkan. Sehingga, jihad melawan hawa nafsu adalah jihad melawan hal-hal yang kita senangi, yang kita cintai.  Sebaliknya, jihad melawan orang-orang kafir adalah jihad melawan sesuatu (manusia, makhluk) yang kita musuhi, kita benci. Bahkan Rasulullah s.a.w. setelah kembali dari satu peperangan besar bersabda kepada sahabat-sahabatnya:
Kita ini kembali dari peperangan yang paling kecil, menuju peperangan yang lebih besar”[17]
Setelah Rasulullah s.a.w. ditanya sahabat, beliau menjawab bahwa peperangan yang lebih besar itu ialah memerangi hawa nafsu.  Dalam hadits yang lain pula, Rasulullah s.a.w menggambarkan bagaimana besarnya bahaya hawa nafsu:
Bukanlah orang yang gagah berani itu lantaran dia cepat melompati musuhnya didalam pertempuran, tetapi orang yang berani ialah orang yang boleh menahan dirinya dari kemarahan”. (Hadits riwayat Abu Daud)
Rasulullah mengingatkan bahwa akhlak itu dapat diubah dengan tindakan. Maka hendaklah kita berusaha menundukkan kemarahan, syahwat, dan kejahatan. Semua sifat ini adalah dari petunjuk syariat. Jika kita melakukan hal itu, maka tujuan telah dicapai. Hal itu dilakukan dengan kesabaran atas sesuatu yang kita tidak senangi agar setelah itu menjadi kebiasaan. Rasulullah bersabda, “kebaikan itu adalah kebiasaan.” Barang siapa yang pada asal fitrahnya tidak ada, misalnya kedermawanan, maka biasakanlah hal itu walaupun dengan memaksakan diri, sehingga menjadi terbiasa. Seperti itu pula sifat-sifat yang lainnya diobati dengan kebalikannya hingga tercapai tujuan. Maka kelanggengan dalam beribadah dan mengingkari syahwat akan membaguskan rupa bathin dan diperoleh keridhaan Allah swt. Rasulullah Saw. bersabda, “ sembahlah Allah dengan kesenangan. Jika tidak mampu , maka lakukanlah dalam kesabaran terhadap yang engkau benci. Maka engkau memperoleh kebaikan. Pada permulaannya adalah sabar hingga menjadi senang, karena asal fitrah menuntut rupa bathin yang baik. Hal itu ditunjukkan dengan sabdanya, “satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipat,” karena ia sesuai dengan asal fitrah. [18]

Dalam memerangi nafsu manusia terbagi 3 golongan :
1.    Golongan yang tunduk mengikuti nafsu
Mereka hidup dengan kemaksiatan diatas muka bumi dan ingin hidup kekal didunia. Mereka adalah orang-orang kafir dan orang yang mengikuti mereka. Golongan ini lupa dan lalai (kebesaran dan nikmat) Allah, lalu Allah juga membiarkan mereka
Allah berfirman :
|M÷ƒuätsùr& Ç`tB xsƒªB$# ¼çmyg»s9Î) çm1uqyd ã&©#|Êr&ur ª!$# 4n?tã 5Où=Ïæ tLsêyzur 4n?tã ¾ÏmÏèøÿxœ ¾ÏmÎ7ù=s%ur Ÿ@yèy_ur 4n?tã ¾ÍnÎŽ|Çt/ Zouq»t±Ïî `yJsù ÏmƒÏöku .`ÏB Ï÷èt/ «!$# 4 Ÿxsùr& tbr㍩.xs? ÇËÌÈ  
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[19]dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. Al Jatsiyah : 23)
2.    Golongan yang memerangi dan bertarung menentang nafsu
Dalam menentang hawa nafsunya ada kalanya golongan ini mencapai kemenangan dan adakalanya mereka kalah. Namun apabila terlihat dalam kesalahan mereka akan segera bertaubat. Begitu juga bila mereka mlakukan maksiat mereka akan segera sadar dan menyesal serta memohon ampun kepada Allah.
Allah berfirman :
šúïÏ%©!$#ur #sŒÎ) (#qè=yèsù ºpt±Ås»sù ÷rr& (#þqßJn=sß öNæh|¡àÿRr& (#rãx.sŒ ©!$# (#rãxÿøótGó$$sù ö
NÎgÎ/qçRäÏ9 `tBur ãÏÿøótƒ šUqçR%!$# žwÎ) ª!$# öNs9ur (#rŽÅÇム4n?tã $tB (#qè=yèsù öNèdur šcqßJn=ôètƒ ÇÊÌÎÈ  
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri,[20] mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Q.S. Ali Imron : 135)
3.    Golongan yang berada dalam genggaman setan
Inilah glongan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW, dalam sabdanya : Artinya : “setiap anak adam (manusia) itu melakukan kesalahan, sebaik baiknya orang yang melakukan kesalahan (dosa) ialah mereka yang bertobat (HR Ahmad dan Tirmidzi)
C.        Riyadhah
Riyâdhah artinya “latihan”. Maksudnya adalah latihan rohaniah untuk menyucikan jiwa  dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Proses yang dilakukan adalah dengan jalan melakukan pembersihan atau pengosongan jiwa dari segala sesuatu selain Allah, kemudian menghiasi jiwanya dengan zikir, ibadah, beramal saleh dan berakhlak mulia. Pekerjaan yang termasuk kedalam amalanriyâdhah adalah mengurangi makan, mengurangi tidur untuk salat malam, menghindari ucapan yang tidak berguna, dan berkhalwat yaitu menjauhi pergaulan dengan orang banyak diisi dengan ibadah, agar bisa terhindar dari perbuatan dosa.[21]
Tujuan riyâdhah bagi seorang sufi adalah untuk mengontrol diri, baik jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci.[22] Karena itu, riyâdhah haruslah dilakukan secara sungguh-sungguh dan penuh dengan kerelaan. Riyâdhah yang dilakukan dengan kesungguhan dapat menjaga seseorang dari berbuat kesalahan, baik terhadap manusia ataupun makhluk lainnya, terutama terhadap Allah Swt. Dan bagi seorang sufi riyâdhah merupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut pada tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.[23]
Salah satu bagian yang terdapat tasawuf adalah riyadhah (latihan-latihan ibadah). Riyadhah yang biasa dilakukan antara lain:
1.      Bertobat. Ia harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi sembari melafalkan dzikir dan wirid-wirid tertentu.
2.      Untuk memantapkan tobatnya ia harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai serta fokus beribadah.
3.      Wara’. Ia harus menjauhkan dirinya dari perbuatan syubhat dan tidak memakan makanan atau minuman yang tidak jelas kedudukan halal-haramnya.
4.      faqir. Ia harus menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.
5.      Sabar. Bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Allah yang berat dan menjauhi larangan-larangan-Nya, tetapi juga sabar dalam menerima musibah berat yang ditimpakan Allah.
6.      Tawakal. Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok karena bagi seorang sufi cukup apa yang ada untuk hari ini karena esok belum tentu masih hidup.
7.      Ridha. Ia tidak menentang cobaan dari Allah, bahkan menerimanya dengan sepenuh hati. Karena itu, seorang sufi tidak menyimpan perasaan benci kepada siapa pun karena semua yang terjadi adalah bagian dari kehendak Allah.
Sebagaimana dikatakan di atas, mujâhadah dan riyâdhah yang diamalkanmerupakan latihan rohaniah dalam rangka menyucikan jiwa (tazkiyyatun nafs), agar hati diliputi nur Ilahiah, tersingkapnya rahasia batin (mukâsyafah), merasakan nikmat dan lezatnya beribadah. Ini merupakan keadaan (hâl) bagi seseorang dalam mendekatkan dirinya kepada Allah Swt. Pencapaian tersebut tidak lepas dari jalan (tharîq) yang harus mereka lalui.  Karena syariat bagaikan pohon, tarekat bagaikan cabang, makrifat bagaikan daun, dan hakekat bagaikan buah”, demikian ungkap As-Syekh Abdul Qadir Jaelani.[24] Dalam menempuh jalan, diumpamakan cabang tersebut terdiri dari beberapa tingkatan (maqâmât) yang harus ditempuh satu demi satu, dan memerlukan waktu yang panjang dan berat, mereka akan mengalami berbagai keadaan batin yang disebut dengan ahwal. Jadi, maqâmât dan ahwâlmerupakan tahap-tahap yang lazim dilalui oleh para sâlik menuju tujuan puncaknya, yaitu mencapai ma`rifatullâh (buah).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tazkiyah secara etimologis yaitu penyucian dan pertumbuhan. secara istilah berarti membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya, disamping ‘ubudiyah yang sempurna kepada Allah dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah. Semua itu melalui peneladanan kepada Rasulullah saw.
Mujâhadah menurut bahasa berasal dari kata Jahada, seakar dengan kata Jihad, artinya bersungguh-sungguh agar sampai kepada tujuan. Secara lebih luas,mujâhadah  adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu (keinginan-keinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya jiwa menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa saja yang bersifat suci, sehingga ia berhak memperoleh pelbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya.
Riyâdhah artinya “latihan”. Maksudnya adalah latihan rohaniah untuk menyucikan jiwa  dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Tujuanriyâdhah bagi seorang sufi adalah untuk mengontrol diri, baik jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci dan merupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut pada tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.




Daftar Pustaka
1.      Al Aziz, S., Moh. Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Terbit Terang
2.      Al-Ghazali.1980. Ihya Ulum Al-Din, Juz 8. Beirut : Dar al-Fikr
3.      --------------,2008. Mutiara Ihya ‘Ulumuddin : Ringkasan yang Ditulis Oleh Sang Hujjatul Islam, Bandung: PT Mizan Pustaka
4.      Al-Jailani, As-Syeikh Abdul Qadir.1996. Sirrur Asror, Terj. Suryalaya
5.      Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Al-Hambali, Ibnu Rajab.  Al-Ghazali, Imam.2004.Tazkiyatun Nafs : Konsep penyucian Jiwa Menurut Ulama’ Salaf. Solo : Pustaka Arafah
6.      Asmaran,1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada[1] Ibid
7.      Hawwa, Sa’id.1998. intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali  : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs terpadu . Rabbani Press
8.      Jaelani, A.F. 2000. Penyucian Jiwa (tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental.Jakarta: Penerbit Amzah
9.      Mustafa, Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasîth, Al-Da’wah, Cacgri-Istanbul, tth,
10.  Suyuti, Achmad, 1996. Percik-Percik Kesufian. Jakarta : Pustaka Amani
________________________________________
[1] A.F. Jaelani, Penyucian Jiwa (tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Penerbit Amzah,2000), hal. 1
[2] Ibid, hal. 2
[3] Sa’id Hawwa, intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali  : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs terpadu (Rabbani Press, 1998), hal. 2
[4] Ibid, hal. 173
[5] Ibid, hal.45
[6] Ibid
[7] Ibid, hal.47
[8] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu Rajab Al-Hambali, Imam Al-Ghazali,Tazkiyatun Nafs : Konsep penyucian Jiwa Menurut Ulama’ Salaf, (Solo : Pustaka Arafah, 2004) hal.viii
[9] Maksudnya: malam-malam yang gelap
[10] Sa’id Hawwa, intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali  : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs terpadu (Rabbani Press, 1998), hal. 180
[11] Ibid, hal. 314
[12] Mustafa, Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasîth, Al-Da’wah, Cacgri-Istanbul, tth, hal. 142.
[13] Suyuti, Achmad, Percik-Percik Kesufian, (Jakarta : Pustaka Amani, 1996), hal. 125.
[14] Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, Juz 8, (Beirut : Dar al-Fikr, 1980) hal. 11-12
[15] Ibid, hal 37
[16] Al-Ghazali, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin : Ringkasan yang Ditulis Oleh Sang Hujjatul Islam, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008) hal. 224
[17] Ibid, hal.222
[18] Ibid, hal. 223-224
[19] Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa Dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.
[20] Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.
[21] Ibid, hal.125-126
[22] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) hal. 17.
[23] Al Aziz, S., Moh. Saifulloh. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Terbit Terang, Surabaya, 1998, hal. 104
[24] Al-Jailani, As-Syeikh Abdul Qadir, Sirrur Asror, Terj. Suryalaya, 1996,   hal. 44