MAKALAH
TAZKIYAt
an-NAFS
(Mujahadah
dan Riyadhah)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah Swt dalam
dua dimensi jiwa. Ia memiliki karakter, potensi, orientasi, dan kecenderungan
yang sama untuk melakukan hal-hal positif dan negatif. Inilah salah satu ciri
spesifik manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya sehingga
manusia dikatakan sebagai makhluk alternatif. Artinya, manusia bisa menjadi
baik dan tinggi derajatnya dihadapan Allah atau sebaliknya, ia pun bisa menjadi
jahat dan jatuh terperosok pada porsi yang rendah dan buruk seperti hewan,
bahkan lebih rendah dari hewan.[1]
Dua dimensi jiwa manusia, yaitu positif
dan negatif senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi, dan berperang. Islam
sebagai agama yang haq memberikan tuntunan kepada manusia agar ia menggunakan
potensi ikhtiarnya untuk memiliki dan menciptakan lingkungan yang positif
sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan, tazkiyat atau penyucian
jiwa, dan tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwa.[2] Oleh
karena itu, makalah ini akan membahas tentang tazkiyatun-nafs, khususnya yaitu
mujahadah dan riyadhah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian dan tujuan tazkiyatun-nafs ?
2. Apa pengertian Mujahadah an-Nafs ?
3.
Apa pengertian Riyadhah an-Nafs?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tazkiyatun Nafs
Tazkiyah secara etimologis mempunyai dua
makna : penyucian dan pertumbuhan. Demikian pula maknanya secara istilah.
Zakatun-nafsi artinya penyucian (tathahhur) jiwa dari segala penyakit dan
cacat, merealisasikan (tahaqquq) berbagai maqam padanya, dan menjadikan asma’
dan sifat sebagai akhlaqnya (takhalluq). [3]
Tazkiyatun-nafs secara singkat berarti
membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan
kesuciannya dengan tauhid dan cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah
yang baik sebagai akhlaknya, disamping ‘ubudiyah yang sempurna kepada Allah
dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah. Semua itu melalui peneladanan
kepada Rasulullah saw. [4]
Tazkiyah an-nafs (membersihkan jiwa)
merupakan salah satu tugas yang diemban rasulullah saw. pengertian tersebut
dapat dilihat dalam kitab-kitab tafsir. Sebagaimana Allah Berfirman dalam Surah
Al-Jumu’ah :2
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ft öNÍkön=tã ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÏj.tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta
huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah).
dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”
Menurut
Ibnu Abbas, kalimat Yuzakkihim berarti “membersihkan hati dengan iman.”[5]
Menurut Imam Suyuthi, “mensucikan mereka dari kotoran-kotoran akidah dan kotoran-kotoran
Jahiliyah”.[6] Sedangkan dari segi akhlak tasawuf ada para ahli yang
mengartikan tazkiyatun-nafs dengan takhliyat al-nafs (mengosongkan diri dari
akhlak tercela) dan tahliyat al-nafs (mengisinya dengan akhlak terpuji), dengan
begitu orang mudah mendekatkan diri kepada Allah.[7]
Dengan demikian, pengertian tazkiyat
al-nafs berhubungan erat dengan soal akhlak dan kejiwaan, serta dalam islam
berfungsi sebagai pola pembentukan manusia yang berakhlak baik dan bertakwa
kepada Allah. Karenanya, siapapun yang mengharapkan Allah dan hari akhir, mesti
memperhatikan kebersihan jiwanya. Allah juga menjadikan kebahagiaan seorang
hamba tergantung kepada tazkiyah an-nafs. Hal ini di sebutkan dalam al-Qur’an
setelah disebutkannya sebelas sumpah secara beruntun. Suatu keistimewaan yang
tidak dimiliki hal lain[8].
ħ÷K¤±9$#ur $yg8ptéÏur ÇÊÈ ÌyJs)ø9$#ur #sÎ) $yg9n=s? ÇËÈ Í$pk¨]9$#ur #sÎ) $yg9¯=y_ ÇÌÈ È@ø©9$#ur #sÎ) $yg8t±øót ÇÍÈ Ïä!$uK¡¡9$#ur $tBur $yg9t^t/ ÇÎÈ ÇÚöF{$#ur $tBur $yg8yssÛ ÇÏÈ <§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari.
Dan bulan apabila mengiringinya. Dan siang apabila menampakkannya. Dan malam apabila
menutupinya.[9] Dan langit serta pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya.
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(Q.S. Asy-Syams:1-10)
Hal
yang termasuk dalam tazkiyatun nafs adalah penyucian dari:
a. Kufur, nifaq, kefasikan, dan bid’ah
b. Kemusyrikan dan riya
c. Cinta kedudukan dan kepemimpinan
d. Kedengkian
e. ‘ujub
f. Kesombongan
|
g. Kebakhilan
h. Keterpedayaan
i. Amarah yang zalim
j. Cinta dunia
|
Tahaqquq terdiri atas
hal-hal berikut:
a. Tauhid dan ubudiyah
b. Ikhlas
c. Shidiq kepada Allah
d. Zuhud
e. Tawakkal
f. Mahabbatullah
|
g. Takut dan harap
h. Taqwa dan wara’
i. Syukur
j. Sabar, taslim dan ridha
k. Muraqabah dan musyahadah (ihsan)
|
B.
Mujahadah
Mujâhadah menurut bahasa berasal dari
kata Jahada, seakar dengan kata Jihad, artinya bersungguh-sungguh agar sampai
kepada tujuan.[12] Secara lebih luas,mujâhadah
adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu
(keinginan-keinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya jiwa menjadi
suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa saja yang bersifat
suci, sehingga ia berhak memperoleh pelbagai pengetahuan yang hakiki tentang
Allah dan kebesaran-Nya. Mujahadah bersighat isim maf’ul dari tsulatsi mazid
karena menyatakan sebuah proses tanpa akhir, istilah dalam ilmu tashawuf selalu
menggunakan isim maf’ul. Perbedaan antara mujahadah dan mujahid adalah terletak
pada objek yang diperanginya. Para mujahid berjuang memerangi kafir yang
jelas-jelas memusuhi secara nyata, sedangkan mujahadah berperang melawan hawa
nafsu, jelas sangat sulit sekali, karena hawa nafsu berada di dalam diri kita.
Dengan demikian, mujâhadah merupakan
tindakan perlawanan terhadap nafsu, sebagaimana usaha memerangi semua sifat dan
perilaku buruk yang ditimbulkan oleh nafsu amarahnya, yang lazim disebut
mujâhadah al-nafs.[13] Berkaitan dengan ini, Allah Swt. berfirman,
z`Ï%©!$#ur (#rßyg»y_ $uZÏù öNåk¨]tÏöks]s9 $uZn=ç7ß 4 ¨bÎ)ur ©!$# yìyJs9 tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÏÒÈ
“ Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik.”(Q.S. Al-Ankabut : 69)
Dalam kaitan ini Imam Ibn al-Qayyim
berkata: “Allah menggantungkan hidayah dengan laku jihad. Maka orang yang paling sempurna
hidayah (yang diperoleh)-nya adalah dia yang paling besar laku jihadnya. Jihad
yang paling fardu adalah jihad melawan nafsu, melawan syahwat, melawan syetan,
melawan rayuan duniawi. Siapa yang bersungguh-sungguh dalam jihad melawan
keempat hal tersebut, Allah akan menunjukkan padanya jalan ridha-Nya, yang akan
mengantarkannya ke pintu surga-Nya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan jihad,
maka ia akan sepi dari hidayah…”
Al-Ghazali mengibaratkan manusia sebagai
sebuah kerajaan. Dimana jiwa sebagai rajanya, wilayahnya adalah tubuh, serta
alat indra dan anggota badan lainnya sebagai tentaranya. Akal sebagai wazir,
serta hawa nafsu beserta sifat marah sebagi polisinya. Raja dan wazir selalu
berusaha membawa manusia kejalan yang baik dan diridhoi Allah. Sebaliknya, hawa
nafsu dan sifat marah selalu mengajak manusia ke jalan yang sesat dan dimurkai
Allah. Agar tercipta ketenangan dan kebahagiaan dalam kerajaan (diri manusia),
kekuasaan raja dan wazir harus berada diatas kekuasaan hawa Nafsu dan sifat
marah. Kalau sebaliknya yang terjadi, pertanda kerajaan itu akan runtuh dan
binasa.[14]
Menurut Al-Ghazali, Badan itu bukan
tempatnya jiwa karena sesuatu yang bersifat jauhar (substansi, zat, hakikat)
tidak mendiami suatu tempat tertentu. Badan itu adalah alat bagi jiwa,
sedangkan badan tidak bisa memperalat jiwa. Karena jiwa bersifat baqa sedangkan
badan bersifat fana.[15]
Kita telah mengetahui bahwa mengobati
sakit tubuh adalah dengan mempertemukan sesuatu dengan lawannya. Demikian pula
dalam penyakit hati. Hal itu berbeda untuk setiap individu, karena watak itu
berbeda-beda.[16]
Dalam dunia tasawuf, kata jihad
diartikan dengan memerangi hawa nafsu.
Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. bahwa memerangi hawa nafsu itu lebih
berat dan lebih besar daripada memerangi orang-orang kafir. Jika kita telusuri dari sudut pandang
normatifnya, jelas karena agama sangat menganjurkan lelaku atau amaliah ini.
Sampai-sampai, Nabi Saw menyebutnya sebagai jihad akbar (al-jihad al-akbar),
yang nilainya lebih utama dibanding jihad memerangi orang-orang kafir (qital)
yang disebut oleh beliau sebagai jihad kecil (al-jihad al-asghar).
Jika kita menilik secara hakiki, nafsu-diri, atau
disebut sebagai hawa nafsu, merupakan “poros kejahatan” (ma’wa kulli syarrin).
Karena, nafsu-diri memiliki kecenderungan untuk mencari pelbagai kesenangan,
masa bodoh terhadap hak-hak yang musti ditunaikan, serta abai terhadap
kewajiban-kewajiban. Siapa pun yang gemar menuruti apa saja yang diinginkan
oleh hawa nafsunya, maka sesungguhnya ia telah tertawan dan diperbudak oleh
nafsunya itu. Inilah kenapa Nabi Saw menegaskan bahwa jihad melawan nafsu lebih
dahsyat daripada jihad melawan musuh (qital). Sebabnya adalah, nafsu itu
digemari, disenangi, dicintai, dan segala hal yang mengarah kepada nafsu
pastilah menyenangkan. Sehingga, jihad melawan hawa nafsu adalah jihad melawan
hal-hal yang kita senangi, yang kita cintai.
Sebaliknya, jihad melawan orang-orang kafir adalah jihad melawan sesuatu
(manusia, makhluk) yang kita musuhi, kita benci. Bahkan Rasulullah s.a.w.
setelah kembali dari satu peperangan besar bersabda kepada sahabat-sahabatnya:
“Kita ini kembali dari peperangan yang paling
kecil, menuju peperangan yang lebih besar”[17]
Setelah
Rasulullah s.a.w. ditanya sahabat, beliau menjawab bahwa peperangan yang lebih
besar itu ialah memerangi hawa nafsu.
Dalam hadits yang lain pula, Rasulullah s.a.w menggambarkan bagaimana
besarnya bahaya hawa nafsu:
“Bukanlah orang yang gagah berani itu
lantaran dia cepat melompati musuhnya didalam pertempuran, tetapi orang yang
berani ialah orang yang boleh menahan dirinya dari kemarahan”. (Hadits
riwayat Abu Daud)
Rasulullah
mengingatkan bahwa akhlak itu dapat diubah dengan tindakan. Maka hendaklah kita
berusaha menundukkan kemarahan, syahwat, dan kejahatan. Semua sifat ini adalah
dari petunjuk syariat. Jika kita melakukan hal itu, maka tujuan telah dicapai.
Hal itu dilakukan dengan kesabaran atas sesuatu yang kita tidak senangi agar
setelah itu menjadi kebiasaan. Rasulullah bersabda, “kebaikan itu adalah
kebiasaan.” Barang siapa yang pada asal fitrahnya tidak ada, misalnya
kedermawanan, maka biasakanlah hal itu walaupun dengan memaksakan diri,
sehingga menjadi terbiasa. Seperti itu pula sifat-sifat yang lainnya diobati
dengan kebalikannya hingga tercapai tujuan. Maka kelanggengan dalam beribadah
dan mengingkari syahwat akan membaguskan rupa bathin dan diperoleh keridhaan
Allah swt. Rasulullah Saw. bersabda, “ sembahlah Allah dengan kesenangan. Jika
tidak mampu , maka lakukanlah dalam kesabaran terhadap yang engkau benci. Maka
engkau memperoleh kebaikan. Pada permulaannya adalah sabar hingga menjadi
senang, karena asal fitrah menuntut rupa bathin yang baik. Hal itu ditunjukkan
dengan sabdanya, “satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipat,” karena
ia sesuai dengan asal fitrah. [18]
Dalam
memerangi nafsu manusia terbagi 3 golongan :
1. Golongan
yang tunduk mengikuti nafsu
Mereka hidup dengan kemaksiatan diatas
muka bumi dan ingin hidup kekal didunia. Mereka adalah orang-orang kafir dan
orang yang mengikuti mereka. Golongan ini lupa dan lalai (kebesaran dan nikmat)
Allah, lalu Allah juga membiarkan mereka
Allah
berfirman :
|M÷uätsùr& Ç`tB xsªB$# ¼çmyg»s9Î) çm1uqyd ã&©#|Êr&ur ª!$# 4n?tã 5Où=Ïæ tLsêyzur 4n?tã ¾ÏmÏèøÿx ¾ÏmÎ7ù=s%ur @yèy_ur 4n?tã ¾ÍnÎ|Çt/ Zouq»t±Ïî `yJsù ÏmÏöku .`ÏB Ï÷èt/ «!$# 4 xsùr& tbrã©.xs? ÇËÌÈ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan
ilmu-Nya[19]dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?” (Q.S. Al Jatsiyah : 23)
2. Golongan
yang memerangi dan bertarung menentang nafsu
Dalam menentang hawa nafsunya ada kalanya golongan
ini mencapai kemenangan dan adakalanya mereka kalah. Namun apabila terlihat
dalam kesalahan mereka akan segera bertaubat. Begitu juga bila mereka mlakukan
maksiat mereka akan segera sadar dan menyesal serta memohon ampun kepada Allah.
Allah
berfirman :
úïÏ%©!$#ur #sÎ) (#qè=yèsù ºpt±Ås»sù ÷rr& (#þqßJn=sß öNæh|¡àÿRr& (#rãx.s ©!$# (#rãxÿøótGó$$sù ö
NÎgÎ/qçRäÏ9 `tBur ãÏÿøót UqçR%!$# wÎ) ª!$# öNs9ur (#rÅÇã 4n?tã $tB (#qè=yèsù öNèdur cqßJn=ôèt ÇÊÌÎÈ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri,[20] mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Q.S. Ali Imron : 135)
3. Golongan
yang berada dalam genggaman setan
Inilah
glongan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW, dalam sabdanya : Artinya : “setiap
anak adam (manusia) itu melakukan kesalahan, sebaik baiknya orang yang
melakukan kesalahan (dosa) ialah mereka yang bertobat (HR Ahmad dan Tirmidzi)
C.
Riyadhah
Riyâdhah artinya “latihan”. Maksudnya
adalah latihan rohaniah untuk menyucikan jiwa
dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Proses yang
dilakukan adalah dengan jalan melakukan pembersihan atau pengosongan jiwa dari
segala sesuatu selain Allah, kemudian menghiasi jiwanya dengan zikir, ibadah,
beramal saleh dan berakhlak mulia. Pekerjaan yang termasuk kedalam
amalanriyâdhah adalah mengurangi makan, mengurangi tidur untuk salat malam,
menghindari ucapan yang tidak berguna, dan berkhalwat yaitu menjauhi pergaulan
dengan orang banyak diisi dengan ibadah, agar bisa terhindar dari perbuatan
dosa.[21]
Tujuan riyâdhah bagi seorang sufi adalah untuk
mengontrol diri, baik jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci.[22] Karena
itu, riyâdhah haruslah dilakukan secara sungguh-sungguh dan penuh dengan kerelaan.
Riyâdhah yang dilakukan dengan kesungguhan dapat menjaga seseorang dari berbuat
kesalahan, baik terhadap manusia ataupun makhluk lainnya, terutama terhadap
Allah Swt. Dan bagi seorang sufi riyâdhah merupakan sarana untuk mengantarkan
dirinya lebih lanjut pada tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.[23]
Salah
satu bagian yang terdapat tasawuf adalah riyadhah (latihan-latihan ibadah).
Riyadhah yang biasa dilakukan antara lain:
1. Bertobat.
Ia harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat
dosa lagi sembari melafalkan dzikir dan wirid-wirid tertentu.
2. Untuk
memantapkan tobatnya ia harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri dari dunia materi
dan dunia ramai serta fokus beribadah.
3. Wara’.
Ia harus menjauhkan dirinya dari perbuatan syubhat dan tidak memakan makanan
atau minuman yang tidak jelas kedudukan halal-haramnya.
4. faqir.
Ia harus menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia
tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban
agamanya.
5. Sabar.
Bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Allah yang berat dan menjauhi
larangan-larangan-Nya, tetapi juga sabar dalam menerima musibah berat yang
ditimpakan Allah.
6. Tawakal.
Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari
esok karena bagi seorang sufi cukup apa yang ada untuk hari ini karena esok
belum tentu masih hidup.
7. Ridha.
Ia tidak menentang cobaan dari Allah, bahkan menerimanya dengan sepenuh hati.
Karena itu, seorang sufi tidak menyimpan perasaan benci kepada siapa pun karena
semua yang terjadi adalah bagian dari kehendak Allah.
Sebagaimana dikatakan di atas, mujâhadah
dan riyâdhah yang diamalkanmerupakan latihan rohaniah dalam rangka menyucikan
jiwa (tazkiyyatun nafs), agar hati diliputi nur Ilahiah, tersingkapnya rahasia
batin (mukâsyafah), merasakan nikmat dan lezatnya beribadah. Ini merupakan
keadaan (hâl) bagi seseorang dalam mendekatkan dirinya kepada Allah Swt.
Pencapaian tersebut tidak lepas dari jalan (tharîq) yang harus mereka lalui. Karena syariat bagaikan pohon, tarekat
bagaikan cabang, makrifat bagaikan daun, dan hakekat bagaikan buah”, demikian
ungkap As-Syekh Abdul Qadir Jaelani.[24] Dalam menempuh jalan, diumpamakan
cabang tersebut terdiri dari beberapa tingkatan (maqâmât) yang harus ditempuh satu
demi satu, dan memerlukan waktu yang panjang dan berat, mereka akan mengalami
berbagai keadaan batin yang disebut dengan ahwal. Jadi, maqâmât dan
ahwâlmerupakan tahap-tahap yang lazim dilalui oleh para sâlik menuju tujuan
puncaknya, yaitu mencapai ma`rifatullâh (buah).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tazkiyah secara etimologis yaitu
penyucian dan pertumbuhan. secara istilah berarti membersihkan jiwa dari
kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan
cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya,
disamping ‘ubudiyah yang sempurna kepada Allah dengan membebaskan diri dari
pengakuan rububiyah. Semua itu melalui peneladanan kepada Rasulullah saw.
Mujâhadah menurut bahasa berasal dari
kata Jahada, seakar dengan kata Jihad, artinya bersungguh-sungguh agar sampai
kepada tujuan. Secara lebih luas,mujâhadah
adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu
(keinginan-keinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya jiwa menjadi suci
bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa saja yang bersifat suci,
sehingga ia berhak memperoleh pelbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah
dan kebesaran-Nya.
Riyâdhah artinya “latihan”. Maksudnya
adalah latihan rohaniah untuk menyucikan jiwa
dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Tujuanriyâdhah bagi
seorang sufi adalah untuk mengontrol diri, baik jiwanya maupun badannya, agar
roh tetap suci dan merupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut
pada tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.
Daftar Pustaka
1. Al
Aziz, S., Moh. Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya :
Terbit Terang
2. Al-Ghazali.1980.
Ihya Ulum Al-Din, Juz 8. Beirut : Dar al-Fikr
3. --------------,2008.
Mutiara Ihya ‘Ulumuddin : Ringkasan yang Ditulis Oleh Sang Hujjatul Islam,
Bandung: PT Mizan Pustaka
4. Al-Jailani,
As-Syeikh Abdul Qadir.1996. Sirrur Asror, Terj. Suryalaya
5. Al-Jauziyyah,
Ibnu Qayyim. Al-Hambali, Ibnu Rajab.
Al-Ghazali, Imam.2004.Tazkiyatun Nafs : Konsep penyucian Jiwa Menurut
Ulama’ Salaf. Solo : Pustaka Arafah
6. Asmaran,1994.
Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada[1] Ibid
7. Hawwa,
Sa’id.1998. intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs
terpadu . Rabbani Press
8. Jaelani,
A.F. 2000. Penyucian Jiwa (tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental.Jakarta:
Penerbit Amzah
9. Mustafa,
Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasîth, Al-Da’wah, Cacgri-Istanbul, tth,
10. Suyuti,
Achmad, 1996. Percik-Percik Kesufian. Jakarta : Pustaka Amani
________________________________________
[1]
A.F. Jaelani, Penyucian Jiwa (tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental, (Jakarta:
Penerbit Amzah,2000), hal. 1
[2]
Ibid, hal. 2
[3]
Sa’id Hawwa, intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs
terpadu (Rabbani Press, 1998), hal. 2
[4]
Ibid, hal. 173
[5]
Ibid, hal.45
[6]
Ibid
[7]
Ibid, hal.47
[8]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu Rajab Al-Hambali, Imam Al-Ghazali,Tazkiyatun
Nafs : Konsep penyucian Jiwa Menurut Ulama’ Salaf, (Solo : Pustaka Arafah,
2004) hal.viii
[9]
Maksudnya: malam-malam yang gelap
[10]
Sa’id Hawwa, intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs
terpadu (Rabbani Press, 1998), hal. 180
[11]
Ibid, hal. 314
[12]
Mustafa, Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasîth, Al-Da’wah, Cacgri-Istanbul, tth,
hal. 142.
[13]
Suyuti, Achmad, Percik-Percik Kesufian, (Jakarta : Pustaka Amani, 1996), hal.
125.
[14]
Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, Juz 8, (Beirut : Dar al-Fikr, 1980) hal. 11-12
[15]
Ibid, hal 37
[16]
Al-Ghazali, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin : Ringkasan yang Ditulis Oleh Sang Hujjatul
Islam, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008) hal. 224
[17]
Ibid, hal.222
[18]
Ibid, hal. 223-224
[19]
Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa
Dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.
[20]
Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya
tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba.
Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya
menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.
[21]
Ibid, hal.125-126
[22]
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) hal.
17.
[23]
Al Aziz, S., Moh. Saifulloh. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Terbit Terang,
Surabaya, 1998, hal. 104
[24]
Al-Jailani, As-Syeikh Abdul Qadir, Sirrur Asror, Terj. Suryalaya, 1996, hal. 44
No comments:
Post a Comment