MAKALAH
Tafsir Tentang Metode Pendidikan
A. PENDAHULUAN
Dalam penegrtian litterlijk, kata ”metode” berasal
dari bahasa Greek yang terdidiri dari “meta” yang berarti “melalui”, dan
“hodos” yang berarti “jalan”. Jadi metode berarti “jalan yang dilalui”. Dalam
bahasa Arab, metode dikenal dengan istilah thariqah yang berarti
langkah-langkah strategis dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.
Metode
dalam pendidikan Islam, mencerminkan kandungan pesan-pesan dan bersumber dari wahyu
(al-Qur’an) dalam membentuk peradaban yang seimbang antara orientasi dunia dan
akhirat, orientasi keamalan dan ke-Tuhanan, akal dan wahyu, dan sebagainya.
Seperti
yang ada di dalam al-Qur’an banyak menjelaskan tentang metode pendidikan Islam,
misalnya: Surat Al-Maa’idah ayat 67, Surat Al-A’raaf ayat 176-177, Surat
Ibrahim ayat 24-25, Surat An-Nahl ayat 125, Surat Asy-Syuura ayat 38.
B.
PEMBAHASAN
1.
Surat Al-Maa’idah ayat 67
* $pkr'¯»t ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& øs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur ßJÅÁ÷èt z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# w Ïöku tPöqs)ø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÏÐÈ
a. Terjemahan
Surat Al-Maa’idah ayat 67
“Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
b. Asbabun
nuzul Surat Al-Maa’idah ayat 67
Pada suatu waktu Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT telah mengutuskan dengan membawa risalah kerasulan. Hal
yang demikian ini menyebabkan dadaku sesak, sebab aku tahu bahwa ummat manusia akan mendustakan kerasulanku. Padahal
Allah SWT memerintahkan kepadaku agar menyampaikan risalah-ajaran
kerasulan-kepada mereka. Kalau tidak, Allah akan menyiksaku”. Sehubungan dengan
itu Allah SWT menurunkan ayat ke-67 sebagai ketegasan dan penguat terhadap
kewajiban menyampaikan risalah dan memberi jaminan atas keselamatan diri
Rasulullah SAW.[1](
HR. Abu Syaikh dari Hasan ).
Ketika ayat ke-67 diturunkan kepada Rasulullah SAW
beliau bersabda: “Wahai Tuhanku, apakah yang harus aku perbuat, padahal aku
hanya seorang diri. Sedangkan orang-orang kafir bergerombol dalam menghadapi
diriku?”. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat yang berbunyi: Wa
illam taf’al famaaballaghta risaalatahuu. Wallaahu ya’shi-muka minan-naasi.
Innallaha laa yahdil-qaumal kaafiriin. Artinya “Dan jika tidak kamu kerjakan
(apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir”-merupakan kelanjutan ayat sebelumnya.
Ayat ini pada pokoknya memberikan perintah dengan tegas atas kewajiban
menyampaikan risalah kenabian kepada ummat manusia sekalipun mereka menentang.
Disamping itu merupakan jaminan dari Allah SWT untuk menjaga keselamatan
Rasulullah SAW dalam menjalankan tugas dakwahnya.[2](
HR. Ibnu Abi Hatim dari Mujahid ).
Aisyah memberikan keterangan, bahwa Rasulullah SAW
dalam menyampaikan dakwahnya selalu dijaga oleh para sahabat, sehingga turun
ayat ke-67 yang berbunyi: Wallaahu ya’shimuka minan-naasi. Artinya: “Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Setelah ayat ini turun Rasulullah SAW
menampakkan diri dari Kubbah seraya bersabda: “Wahai para sahabatku, Pulanglah!
Allah SWT telah memberikan jaminan keselamatan kepada diriku dalam menyampaikan
dalam menyampaikan dakwah ini. Aku tidak perlu kamu kawal lagi. Sesungguhnya di
malam nan gelap gulita seperti ini lebih baik kamu gunakan untuk beristirahat
bersama keluarga”. ( HR. Hakim dan Tirmidzi dari Aisyah )
Di dalam menyampaikan dakwah Rasulullah SAW selalu
dikawal dan diawasi oleh pamannya yang bernama Abbas. Pada waktu ayat ke-67
yang berbunyi: Wallaahu ya’shimuka minan-naasi. Artinya “Dan Allah memelihara
kamu dari (gangguan) manusia diturunkan kepada Rasulullah Saw”, Abbas tidak
lagi mengawasi dan mengawal Rasulullah SAW dalam berdakwah. Allah SWT
memberikan jaminan keselamatan kepada beliau, sehingga para sahabat di malam
hari tidak lagi harus menjaga di pos penjagaan. ( HR. Thabrani dari Abi Sa’id
al-Khudri ).
Pada w aktu
itu para sahabat biasa mengawal Rasulullah SAW dalam berdakwah-- khawatir
mendapat gangguan dari orang-orang kafir Quraisy—baik di siang hari maupun
malam hari. Oleh karena keadaan yang seperti itu Allah SWT menurunkan ayat ke-67 sebagai ketegasan
tentang jaminan Allah SWT untuk ememlihara keselamatan Rasulullah SAW dalam
berdakwah. Mulai saat itu para sahabat tidak lagi mengawal Rasulullah SAW.
(
HR Ibnu Hibban dalam kitabnya Sahih Ibnu Hibban dari Abi Hurairah )
Pada suatu ketika Rasulullah SAW mengadakan
peperangan dengan Bani Anmar. Ketika sampai di Dzatir-Riqa beliau beristirahat,
di suatu perkebunan kurma yang tinggi, yang beliau duduk di tepian sumur sambil
menjulurkan kaki. Seorang lelaki dari Bani Najjar yang bernama Warits berkata:
“Aku akan membunuh Muhammad”. Teman-temannya bertanya: “Bagaimana kami akan
membunuh Muhammad?”. Jawabannya: “Aku akan mengatakan kepadanya, “Coba
pinjamkanlah pedangmu kepadaku”. Kalau permohonan itu dikabulkan, aku akan
membunuhnya dengan pedang itu”.
Warits segera mendatangiRasulullah SAW yang sedang
beristirahat seraya berkata: “Wahai Muhammad, berikanlah pedangmu kepadku agar
aku dapat mencimnya”. Dengan tiada menaruh curiga Rasulullah SAW langsung
memberikan anak pedang itu kepadanya. Ketika Warits memegang anak pedang milik
Rasulullah SAW tangannya gemetar, tidak bisa berbuat apa-apa. Sehubungan denagn
itu Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT telah menyelamatkan diriku dari maksud
jahatmu”. Peristiwa ini telah melatarbelakangi turunnya ayat ke-67 yang dengan
tegas memberikan jaminan keselamatan kepada Rasulullah SAW dalam mendakwahkan
ajaran Islam.( HR. Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Marduwaih dari jabir bin Abdillah ).
Rasulullah SAW setiap hari tidak pernah terlepas
dari kawalan bi Thalib, paman beliau. Kalau tidak dirinya sendiri, Abi Thalib
menjadwal pemuda-pemuda Bani Hasyim untuk mengawal beliau dalam berdakwah.
Ketika ayat ke-67 diturunkan kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda kepada Abi
Thalib: “Paman, sesungguhnya Allah SWT telah member jaminan keselamatan atas
diriku dari gangguan jin dan manusia dalam mendakwahkan agama. Mulai saat
turunnya ayat ini Rasulullah SAW tidak lagi membutuhkan pengawal dalam
berdakwah.( HR. Ibnu Marduwaih dan Thabrani dari Ibnu Abbas. Hadis ini adalah
gharib.
Pada suatu ketika Abi Hurairah dari para sahabat
yang lain mengikuti peperanagn bersama Rasulullah SAW. ketika pada suatu pagi
Rasulullah mereka tinggalkan di bawah pohon besar untuk beristirahat. Ketika
beliau menggantungkan anak pedangnya pada suatu dahan, datanglah seorang lelaki
mengambil anak pedang beliau dan menghunusnya. Lelaki itu berkata: “Wahai
Muhammad, siapakah yang akan melindungi dirimu atas diriku?”. Jawab Rasulullah
SAW: “Allah SWT yang akan melindungi diriku dari kejahatanmu. Letakkan pedang
itu!”. Lelaki itupun meletakkan pedang milik Rasulullah SAW. sehubungan dengan
itu Alla SWT menurunkan ayat keselamatan Rasulullah SAW. mulai saat itu
Rasulullah SAW lebih mantap dalam mendakwahkan ajaran yang dibawa.
(
HR. Ibnu Maduwaih dari Abi Amrin bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim dari
Muhammad bin Abdil-Wahab dari Adam dari Hamad bin Salamah dari Muhammad bin
Amrin dari Abi Salamah dari Abi Hurairah).
c. Penjelasan
Dalam ayat ini Allah menyuruh Nabi Muhammad, supaya
menyampaikan semua yang diturunkan Allah kepada umat manusia. Dan tidak boleh
disembunyikan atau ditinggalkan satu ayatpun. Kalau demikian itu tidak
diperbuat, maka berarti dalam menyapaikan risalah Allah. Hal itu telah
dilaksanakan oleh Nabi dengan sebaik-aiknya, yaitu menyampaikan al-Kitab
(al-Qur’an) dengan lisan dan tulisan kepada sahabat-sahabatnya. Kemudian sahabat-sahabatnya
dan alim ulama, sebagai waris Nabi menyampaikan pula kepada seluruh umat
manusia. Berkata Nabi SAW: Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang
yang tidak hadir.[3]
Dan lagi katanya: Sampaikanlah dari padaku, meskipun
satu ayat. Maka kewajiban kita sekarang menyampaikan al-Qur’an kepada seluruh
penduduk Indonesia khususnya dan umat manusia umumnya. Dengan demikian baru
kita menyampaikan risalah Allah.
Imam
Syafi’i berkata. “Allah berfirman, ‘Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia’.
Maksudnya, memeliharamu dari pembunuhan mereka, sebelum kamu menyampaikan apa
yang diwahyukan kepadamu. Maka, sampaikan apa yang diperintahkan.[4]
2.
Surat Al-A’raaf ayat 176-177
öqs9ur $oYø¤Ï© çm»uZ÷èsùts9 $pkÍ5 ÿ¼çm¨ZÅ3»s9ur t$s#÷zr& n<Î) ÇÚöF{$# yìt7¨?$#ur çm1uqyd 4 ¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. É=ù=x6ø9$# bÎ) ö@ÏJøtrB Ïmøn=tã ô]ygù=t ÷rr& çmò2çøIs? ]ygù=t 4 y7Ï9º© ã@sVtB ÏQöqs)ø9$# úïÏ%©!$# (#qç/¤x. $uZÏG»t$t«Î/ 4 ÄÈÝÁø%$$sù }È|Ás)ø9$# öNßg¯=yès9 tbrã©3xÿtFt ÇÊÐÏÈ uä!$y ¸xsWtB ãPöqs)ø9$# z`Ï%©!$# (#qç/¤x. $uZÏG»t$t«Î/ öNåk|¦àÿRr&ur (#qçR%x. tbqãKÎ=ôàt ÇÊÐÐÈ
a. Terjemahan
“Dan
kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan
ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya
yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”
“Amat
buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada
diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.”
b. Penjelasan
Firman Allah Ta’ala, “Maka perumpamaannya sepeti
anjing. Jika kamu menghalaunya, maka diulurkannya lidahnya. Dan jika kamu
membiarkannya, maka ia mengulurkan lidahnya pula.” Yakni, dia menjadi seperti
anjing dalam hal kesesatannya dan kesinambungannya dalam kesesatan itu. Hal ini
karena di antar kebiasaan anjing ialah menjulurkan lidahnya, apakah ia itu
dihalau maupun tidak. Demikian pula dengan Bal’am. Tidak lagi berguna baginya
adanya ajakan kepada keimanan maupun tiadanya ajakan itu. Dalam kedua hal itu
tidak berguna nasihat dan seruan kepada keimanan bagi Bal’am, atau tiadanya
nasihat dan seruan itu kepadanya. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala, “Sama
saja bagi mereka, apakah kamu memberi peringatan kepada mereka atau kamu tidak
memperingatkan mereka, mereka tidak beriman.”[5]
Firman Allah Ta’ala, “Maka ceritakanlah kisah-kisah
itu agar mereka”. Yakni agar Bani Israel dan seluruh manusia “berpikir”
terhadap kejadian akhir Bal’am, penyesatan Allah terhadap dirinya, dan
penjauhannya dari rahmat-Nya karena diamenggunakan nikmat Allah, yaitu diajari
nama yang agung yang tidaklah dia meminta melalui nama itu melainkan diberi.
Dan tidaklah menggunakannya untuk berdo’a melainkan dipenuhi pada jalan yang
bukan ketaatan kepada Tuhan-nya, bahkan dia menggunakannya untuk mendo’akan
buruk kepada golongan ar-Rahman, rakyat beriman, dan pengikut hamba dan
rasul-Nya, yaitu Musa a.s. pada masa itu. Oleh karena itu, Allah Ta’ala
berfirman, “Agar mereka berpikir”, yakni mudh-mudahan kaum musyrikin Quraisy
yang memperoleh cerita Bal’am melalui al-Qur’an menjadi takut dan mengambil
pelajaran dari kejadiannya. Sesungguhnya mereka, yakni kaum musyrikin Arab dan
Yahudi yang hidup pada zaman itu, mengetahui Muhammad seperti mereka mengetahui
anaknya sendiri. merekalah manusia yang paling pantas dan paling utama untuk
mengikutinya, menolongnya, dan memuliakannya.
Dan sesungguhnya barangsiapa yang berpaling,
diantara kaum musyrikin dan Banim Israel, dari mengimani Rasulullah SAW.,
menyalahi sifat Nabi yang terdapat dalam Taurat, dan menyembunyikan
sifat-sifatnya, maka Allah akan menimpakan kepadanya kehinaan di dunia yang
berlanjut hingga kehinaan di akhirat.
Firman Allah Ta’ala, “Amat buruklah perumpamaan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kamu. “Yakni, seburuk-buruknya
perumpamaan ialah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah.
Maka meraka diserupakan dengan anjing yang tidak memiliki keinginan kecuali
terhadap makanan dan syahwat. Barangsiapa yang keluar dari kerangka ilmu dan
petunjuk, menuju kepada syahwat dirinya, dan memperturutkan hawa nafsunya, maka
dia menyerupai anjing. Seburuk-buruknya perumpamaan adalah perumpamaan itu.
Firman Allah Ta’ala, “Dan kepadadiri mereka sendirilah mereka berbuat zalim”,
yakni Allah tidak menzalimi mereka dari mengikuti petunjuk, cenderung kepada
negeri cobaan, dan meperturutkan hawa nafsu. [6]
3.
Surat Ibrahim ayat 24-25
öNs9r& ts? y#øx. z>uÑ ª!$# WxsWtB ZpyJÎ=x. Zpt6ÍhsÛ ;otyft±x. Bpt7ÍhsÛ $ygè=ô¹r& ×MÎ/$rO $ygããösùur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇËÍÈ þÎA÷sè? $ygn=à2é& ¨@ä. ¤ûüÏm ÈbøÎ*Î/ $ygÎn/u 3 ÛUÎôØour ª!$# tA$sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 crã2xtGt ÇËÎÈ
a. Terjemahan
“Tidakkah
kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.”
“pohon
itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
b. Penjelasan
“Tidakkah
kamu, wahai manusia, mengetahui secara yakin bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan dan meletakkannya pada tempat yang tepat .”
Sesungguhnya,
Allah yang Maha Kuasa telah membuat perumpamaan bagi kalimat yang baik, yaitu
iman yang iman yang tetap di dalam kalbu mu’min, yang yang karena itu amalnya
diangkat ke langit, sebagaigaman firman Allah:
“Kepada-Nyalah
naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (Fatir,
35: 10)
Dan karena iman itu pula berkah serta pahala amalnya
senantiasa diterima. Pada setiap saat. Sebab, setiap kali orang mu’min
mengucapkan “La ilaha ilallah”, dibawalah ucapan itu naik ke langit, lalu
datanglah berkah dan kebaikannya.[7]
Allah mengumpamakan kalimat yang baik itu dengan
pohon yang baik, berbuah, indah dipandang, harum baunya, pokonya tertancap
kokoh di dalam tanah, yang karenanya tidak mudah tumbang, dan cabang-cabang
menjulang tinggi ke udara. Keadaan ini menunjukkan kepada kokohnya pokok,
kuatnya akar, dan jauhnya pohon dari benda-benda bususk yang ada di dalam tanah
serta kotoran bangunan. Maka, pohon itu mendatangkan buahnya yang bersih dari
segala kotoran, dan berbuah pada setiap musim dengan perintah serta izin
Penciptanya. Jika seluruh sifat tersebut dimiliki oleh pohon ini, maka akan
banyak manusia yang menyukainya.
Ringkasan: Allah Ta’ala mengumpamakan kalimat iman
dengan sebuah pohon yang akarnya tetap kokoh di dalam tanah dan cabangnya. Hal
ini disebabkan apabila hidayah telah bersemayamdi dalam satu kalbu, seakan
sebuah pohon yang berbuah pada setiap musim, karena buahnya tidak pernah
terputus. Setiap kalbu menerima dari kalbu serupa dan
mengambil dengan cepat, lebih cepat daripada kobaran api pada kayu bakar yang
kering, atau aliran listrik pada logam, atau cahaya pada senter.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa kalimat yang
baik itu ialah ucapan “La Ilaha Illallah”, dan pohon yang baik ialah pohon
kurma.[8]
“Pernah
(suatu ketika)kami berada di sisi Rasulullah SAW. beliau bersabda,
‘Beritahukanlah padaku sebuah pohon yang menyerupai orang muslim, yang daunnya
tidak pernah berguguran, tidak pada musim panas dan tidak pula pada musim
dingin, serta mendatangkan buahnya pada setiap musim dengan izin Penciptanya’.
Ibnu Umar berkata, ‘Kemudian terbetik dalam hatimu bahwa pohon itu adalah pohon
kurma. Namun aku enggan untuk berbicara. Tatkala mereka tidak berkata sepatah
pun, Rasulullah SAW. bersabda, ‘Pohon kurma’, menakala kami bengkit, aku
berkata kepada Umar, ‘Wahai ayahku demi Allah sungguh telah terbetik dalam
hatiku bahwa ia adalah pohon kurma’. Umar bertanya, lantas apa yang
menghalangimu untuk berbicara, maka saya enggan berbicara atau mengucapkan
sesuatu’. Umar berkata, ‘Kamu mengucapkannya adalah lebih aku sukai daripada
begini dan begini.
Kemudian, Allah mengisyaratkan keagungan perumpamaan
ini, agar ia menjadi pendorong untuk meikirkan dan mengetahui maksudnya:
Pembuatan
perumpamaan akan membantu memahamkan dan mengingatkan manusia terhadap makna perkataan,
karena hati lebih mudah di lunakkan dengan perumpamaan-perumpamaan. Ia dapat
mengeluarkan makna dari yang tersembunyi kepada yang jelas, dan dari yang dapat
diketahui dengan pikiran kepada yang dapat diketahui dengan tabiat. Dengan
perumpamaan, sesuatu yang rasional bisa disesuaikan dengan sesuatu yang
indrawi. Maka, tercapailah pengetahuan yang sempurna tentang sesuatu yang
diumpamakan.[9]
Allah mengumpamakan perkataan yang baik, (seperti
kalimat tauhid, nasehat, dan sebagainya) seperti sepohon kayu yang baik,
pokoknya tetap dibumi dan cabangnya menjulang kelangit. Ia berubah pada
tiap-tiap waktu dengan izin Allah. Umpama perkataan yang keji (seperti
perkataan syirik, umpat, gunjing, fitnah, dan sebagainya) seperti sepohin kayu
yang buruk ynag terbongkar uratnya dari muka bumi, hingga ia tiada dapat tegak
dimuka bumi. Allah menetapkan hati orang-orang yang beriman dengan perkataan
yang kokoh, yakni dengan dalil dan keterangan, sehingga tetap keimanannya dalam
hatinya di dunia dan diakhirat. Allah menyesatkan orang-orang yang aniaya dan
memperbuat apa-apa yang dikehendaki-Nya menurut hikmah-Nya (kebijaksaan-Nya),
yaitu mentapkan hati orang-orang Mukmin dan menyesatkan orang-orang yang zalim.
Begitulah sunnatullah.[10]
4.
Surat An-Nahl ayat 125
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
a. Terjemahan
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.
b. Penjelasan
Maksudnya adalah srulah ummatmu wahai para Rasul
dengan seruan agar mereka melaksanakan syari’at yang telah ditetapkannya
berdasarkan wahyu yang diturunkannya, dengan melalui ibarat dan nasehat yang
terdapat di dalam Kitab yang diturunkannya. Dan hadapilah mererka dengan cara
yang lebih baik dari lainnya sekalipun mereka menyakitimu, dan sadarkanlah mereka
dengan cara yang baik.[11]
Maksudnya adalah bahwa sesungguhnya Tuhanmu wahai
para Rasul adalah lebih mengetahui dengan apa yang berjalan dan diperselisihkan,
dan juga lebih mengetahui cara yang harus ditempuh sesuai yang hak.
Ringkasnya
ayat tersebut menyuruh agar Rasulullah menempuh cara berdakwah dan berdiskusi
dengan cara yang baik. Sedangkan petunjuk (al-Hidayah) dan kesesatan
(al-dlalal) serta hal-hal yeng terjadi di antara keduanya sepenuhnya
dikembalikan kepada Allah SWT, karena Dia-lah yang lebih mengetahui keadaan
orang-orang yang tidak dapat terpelihara dirinya daei kesesatan, dan
mengembalikan dirinya kepada petunjuk.[12]
Serulah dan ajaklah umt manusia itu kepada gama
Allah dengan cara kebijaksanaan dan pengajaran yang baik. Bersoal-jawablah
dengan mereka itu dengan jalan yang sebaik-baiknya. Allah lebih mengetahui
orang-orang yang sesat dari jaln agama-Nya dan orang-orang yang dapat petunjuk.
Dalam ayat ini Allah menerangkan begaimana cara melaksanakan penyiaran agama
Allah kepada semua umat manusia, yaitu dengan cara kebijaksanaan, bukan dengan
paksaan dan kekerasan atau dengan mencela dan memaki-meki atau dengan perkataan
kasar yang jauh dari adab kesopanan, sebagaimana diperbuat oleh setengah orang
yang tiada mempelajari cara da’wah (seruan) menurut petunjuk Qur’an. Sebab itu
hendaklah ulama-ulama dan penyiar-penyiar agama memakai cara kebijaksanaan itu
untuk menarik umat manusia kepada agama Allah, karena manusia dapat ditarik
dengan kebijaksanaan, bukan dengan kekerasan.[13]
Begitu juga hendaklah menyeru umat manusia itu
dengan pengajaran yang baik, dengan dalil dan keterangan cukup yang dapat
difahamkan mereka. Berkata Nabi SAW: “Berbicara dengan manusia menurut kadar
akal dan pikirannya”.
“Gembirakanlah
mereka itu dan jangan dijauhkan; mudahkanlah dan jangan disukarkan”. Inilah
cara menyeru manusia agama Allah.
Bersoal-jawablah dengan mereka itu dengan jalan yang
sebaik-beiknya, yaitu dengan lunak lembut dan keterangan yang cukup, sehingga
memuaskan hati meraka dan menghilangkan segala keraguannya.
Sebab itu wajiblah ulama-ulama dan penyiar-penyiar
agama mengetahui bermacam-macam ilmu pengetahuan yang diketahui oleh masyarakat
umat yang diserunya, supaya dapat dipersesuaikannya dengan ajaran agama,
sehingga dapat diterima oleh akal mereka yang telah terdidik dengan ilmu
pengetahuan itu. Kalau tidak, niscaya mereka tolak ajaran agama, karena
bertentangan dengan ilmu pengetahuannya. Pendeknya ulama-ulama dan
penyiar-penyiar agama harus mengetahui ilmu dunia dan akhirat, baru mereka
dapat melaksanakan pekerjaaannya yang berat.[14]
5.
Surat Asy-Syuura ayat 38
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÑÈ
a. Terjemahan
“Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
b. Penjelasan
Dalam
ayat ini teranglah, bahwa urusan kaum Muslimin itu ialah dengan bermusyawarat
(bermufakat, bertukar pikiran) antara sesamanya. Urusan negeri, perkumpulan,
pendidikan, dan sebagainya, hendaklah dengan bermusyawarah lebih dahulu,
sebelum memutuskan suatu keputusan. Denga jalan begini akan teraturlah urusan
kaum Muslimin dan hiduplah mereka dengan aman dan damai. Tetapi amat saying,
setengah kaum Muslimin tiada mau menurut peraturan ini, malahan mereka suka
melakukan suatu hukuman (keputusan) dengan tidak bermusyawarah lebih dahulu
dengan orang-orang yang ahli (patut) dalam urusan itu, sehingga akhirnya
terjadi suatu yang tidak diingini (perpecahan sesama kaum Muslimin).[15]
“Dan
orang-orang yang memenuhi apa yang diserukan oleh Tuhan kepada mereka, seperti
mengesakan-Nya dan melepaskan diri dari menyembah sesembahan-sesembahan apa pun
selain Allah.”
Dan
mereka mendirikan shalat yang difardhukan tepat pada waktunya masing-masing
dengan cara yang paling sempurna. Shalat di sini disebutkan secara khusus di
antara rukun-rukun agama yang lain, karena shalat memang sangat penting dalam
menjernihkan jiwa dan membersihkan hati, serta meninggalkan kekejian-kekejian,
baik yang nyata maupun yang tidak nyata.
Apabila
mereka menghadapi suatu urusan, maka mereka bermusyawarah sesama mereka, agar
urusan itu dibahas dan dipelajari bersama-sama apalagi dalam soal peperangan
dan lain-lain.
Rasulullah
SAW. mengajak bermusyawarah para sahabat dalam banyak urusan, akan tetapi tidak
mengajak mereka bermusyawarah dalam persoalan hukum, karena hukum-hukum itu
diturunkan dari sisi Allah. Adapun para sahabat mereka bermusyawarah mengenai
hukum-hukum dan menyimpulkannya dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Kasus yang
pertama-tama dimusyawarahkan oleh para sahabat ialah tentang khilafah. Karena
Nabi SAW. tidak menentukan siapa khalifah. Dan mereka juga bermusyawarah
tentang peperangan melawan orang-orang murtad setelah wafatnya Rasulullah SAW.
dimana yang dilaksanakan adalah pendapat Abu Bakar untuk memerangi mereka. Yang
ternyata perang itu lebih baik bagi Islam dan kaum muslimin. Begitu pula Umar
ra. Bermusyawarah dengan Al-Hurmuzan ketika dia datang kepadanya sebagai
muslim.[16]
Semakna
dengan ayat ini ialah firman Allah Ta’ala:
“Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. (Ali Imran, 3: 159)
Diriwayatkan
dari Al-Hasan, “Tidak ada satu kaum yang bermusyawarah kecuali mendapat
petunjuk pada urusan mereka yang paling baik.”
Dan
Ibnu Arabi mengatakan pula, “Musyawarah itu melembutkan hati orang banyak,
mengasah otak dan emnjadi jalan menuju kebenaran. Dan tidak ada satu pun yang
bermusyawarah kecuali mendapat petunjuk.”
Dalam
perkara apa pun di antara urusan-urusan penting, pemerintah-pemerintah sekarang
ini tidak keputusan kecuali bila telah diajukan terlebih dahulu kepada
majlis-majlis permusyawaratan (parlemen atau majlis orang-orang tua dan
wakil-wakil rakyat).
Imam
Syai’i berkata, “Hasan berkata’ “Sesungguhnya Nabi SAW tidak butuh musyawarah
mereka. Tetapi beliau ingin mentadisikan para pemutus perkara sesudah beliau’.[17]
Imam
Syafi’i berkata pula, “Apabila seorang hakim menghadapi satu perkara yang
mencakup beberapa segi atau masalah, maka hendaknya ia meminta saran kepada
orang yang berilmu dan amanah.”
6.
Kaitan dengan Pendidikan
Bahwa dalam pelaksanaan pendidikan Islam dibutuhkan
adanya metode yang tepat, guna menghantar tercapainya tujuan pendidikan yang
dicita-citakan, sebab tidak mungkin materi pendidikan dapat diterima dengan
baik kecuali disampaikan dengan metode yang tepat. Metode diibaratkan sebagai
alat yang dapat digunakan dalam suatu proses pencapaian tujuan, tanpa metode,
suatu materi tidak akan dapat berproses secara efisien dan efektif dalam
kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan.
Dalam mengajarkan peserta didik kita sebagai seorang
calon pendidik harus mengetahui apa-apa saja metode pendidikan itu, agar
pendidikan itu sesuai dengan al-Qur’an As-Sunnah. Dan membuat peserta didik
mengerti apa yang disampaikan oleh pendidik (guru). Sehingga anak didik
mencapai suatu tujuan pendidikan.
Dan selesaikan permasalahan itu dengan musyawarah,
karena pada masa Rasulullah bermusyawarah itu merupakan cara untuk
menyelesaikan masalah dengan menggunakan hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebab itu wajiblah guru atau pendidik agama
mengetahui bermacam-macam ilmu pengetahuan yang diketahui oleh masyarakat umat
yang diserunya, supaya dapat dipersesuaikannya dengan ajaran agama, sehingga
dapat diterima oleh akal mereka yang telah terdidik dengan ilmu pengetahuan
itu. Kalau tidak, niscaya mereka tolak ajaran agama, karena bertentangan dengan
ilmu pengetahuannya.
C.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Metode
pendidikan Islam berangkat dari suatu pedoman bahwa sumber ilmu adalah Allah
sendiri Pencipta alam semesta. Sedangkan ilmuan hanyalah penemu butiran-butiran
ilmu dalam tatanan sistematik yang disebut manusia.
Pelaksanaan
metode pendidikan Islam, yang dalam prakteknya banyak terjadi di antara
pendidik dan peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat yang luas, memberikan
dampak yang besar terhadap kepribadian peserta didik.
Dalam
penggunaan metode pendidikan Islam yang perlu dipahami adalah bagaimana seorang
pendidik dapat memahami hakikat metode dan relevansinya dengan tujuan utama
pendidikan Isla, yaitu terbentuknya pribadi yang beriman yang senantiasa siap
sedia mengabdi kepada Allah SWT.
Metode
mengajar dalam pendidikan Islam sebenarnya bisa megambil metode yang dipakai
dalam pembelajaran umum asalkan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadist.
Metode-metode tersebut diantaranya adalah metode ceramah, diskusi, Tanya jawab,
demonstrasi, pemecahan masalah, simulasi dan permainan, sosio drama, dan kerja
kelompok.
[1]A. Mudjab
Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), h. 332
[2]A. Mudjab
Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, h. 332- 333
[3]Mahmud
Yunus, Tafsir Quran Karim (Bahasa Indonesia), (Jakarta: PT Hidakarya Agung,
2004), h. 162
[4]Majdi bin
Manshur bin Syyid Asy-Syuri, Tafsir Imam Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2003), h. 167
[5]Muhammad
Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 453
[6]Muhammad
Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, h.
454
[7]Ahmad
Muastafa Al-Maragi, Terj. Tafsir Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1994), h. 278
[8]Ahmad
Muastafa Al-Maragi, Terj. Tafsir Al-Maragi, h. 279-280
[9]Ahmad
Muastafa Al-Maragi, Terj. Tafsir Al-Maragi, h. 280
[10]Mahmud
Yunus, Tafsir Quran Karim (Bahasa Indonesia), h. 364
[11]Abudin
Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), h. 171
[12]Abudin
Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, h. 172
[13]Mahmud
Yunus, Tafsir Quran Karim (Bahasa Indonesia), h. 399
[14]Mahmud
Yunus, Tafsir Quran Karim (Bahasa Indonesia), h. 399
[15]Mahmud
Yunus, Tafsir Quran Karim (Bahasa Indonesia),h. 719
[16]Ibid, h.
94
[17]Majdi
bin Manshur bin Sayyid Asy-Syuri, Tafsir Imam Syafi’I, h. 265
No comments:
Post a Comment