Wednesday 5 August 2015

MAKALAH Tafsir Tarbawi - Tentang Metode Pendidikan

MAKALAH
Tafsir Tentang Metode Pendidikan





A.  PENDAHULUAN

Dalam penegrtian litterlijk, kata ”metode” berasal dari bahasa Greek yang terdidiri dari “meta” yang berarti “melalui”, dan “hodos” yang berarti “jalan”. Jadi metode berarti “jalan yang dilalui”. Dalam bahasa Arab, metode dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.
Metode dalam pendidikan Islam, mencerminkan kandungan pesan-pesan dan bersumber dari wahyu (al-Qur’an) dalam membentuk peradaban yang seimbang antara orientasi dunia dan akhirat, orientasi keamalan dan ke-Tuhanan, akal dan wahyu, dan sebagainya.
Seperti yang ada di dalam al-Qur’an banyak menjelaskan tentang metode pendidikan Islam, misalnya: Surat Al-Maa’idah ayat 67, Surat Al-A’raaf ayat 176-177, Surat Ibrahim ayat 24-25, Surat An-Nahl ayat 125, Surat Asy-Syuura ayat 38.


  


B. PEMBAHASAN

1.      Surat Al-Maa’idah ayat 67
* $pkšr'¯»tƒ ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& šøs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur šßJÅÁ÷ètƒ z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÏÐÈ  

a.       Terjemahan Surat Al-Maa’idah ayat 67
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

b.      Asbabun nuzul Surat Al-Maa’idah ayat 67
Pada suatu waktu Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT telah mengutuskan dengan membawa risalah kerasulan. Hal yang demikian ini menyebabkan dadaku sesak, sebab aku tahu bahwa ummat  manusia akan mendustakan kerasulanku. Padahal Allah SWT memerintahkan kepadaku agar menyampaikan risalah-ajaran kerasulan-kepada mereka. Kalau tidak, Allah akan menyiksaku”. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-67 sebagai ketegasan dan penguat terhadap kewajiban menyampaikan risalah dan memberi jaminan atas keselamatan diri Rasulullah SAW.[1]( HR. Abu Syaikh dari Hasan ).

Ketika ayat ke-67 diturunkan kepada Rasulullah SAW beliau bersabda: “Wahai Tuhanku, apakah yang harus aku perbuat, padahal aku hanya seorang diri. Sedangkan orang-orang kafir bergerombol dalam menghadapi diriku?”. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat yang berbunyi: Wa illam taf’al famaaballaghta risaalatahuu. Wallaahu ya’shi-muka minan-naasi. Innallaha laa yahdil-qaumal kaafiriin. Artinya “Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”-merupakan kelanjutan ayat sebelumnya. Ayat ini pada pokoknya memberikan perintah dengan tegas atas kewajiban menyampaikan risalah kenabian kepada ummat manusia sekalipun mereka menentang. Disamping itu merupakan jaminan dari Allah SWT untuk menjaga keselamatan Rasulullah SAW dalam menjalankan tugas dakwahnya.[2]( HR. Ibnu Abi Hatim dari Mujahid ).
Aisyah memberikan keterangan, bahwa Rasulullah SAW dalam menyampaikan dakwahnya selalu dijaga oleh para sahabat, sehingga turun ayat ke-67 yang berbunyi: Wallaahu ya’shimuka minan-naasi. Artinya: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Setelah ayat ini turun Rasulullah SAW menampakkan diri dari Kubbah seraya bersabda: “Wahai para sahabatku, Pulanglah! Allah SWT telah memberikan jaminan keselamatan kepada diriku dalam menyampaikan dalam menyampaikan dakwah ini. Aku tidak perlu kamu kawal lagi. Sesungguhnya di malam nan gelap gulita seperti ini lebih baik kamu gunakan untuk beristirahat bersama keluarga”. ( HR. Hakim dan Tirmidzi dari Aisyah )
Di dalam menyampaikan dakwah Rasulullah SAW selalu dikawal dan diawasi oleh pamannya yang bernama Abbas. Pada waktu ayat ke-67 yang berbunyi: Wallaahu ya’shimuka minan-naasi. Artinya “Dan Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia diturunkan kepada Rasulullah Saw”, Abbas tidak lagi mengawasi dan mengawal Rasulullah SAW dalam berdakwah. Allah SWT memberikan jaminan keselamatan kepada beliau, sehingga para sahabat di malam hari tidak lagi harus menjaga di pos penjagaan. ( HR. Thabrani dari Abi Sa’id al-Khudri ).
Pada w        aktu itu para sahabat biasa mengawal Rasulullah SAW dalam berdakwah-- khawatir mendapat gangguan dari orang-orang kafir Quraisy—baik di siang hari maupun malam hari. Oleh karena keadaan yang seperti itu Allah SWT  menurunkan ayat ke-67 sebagai ketegasan tentang jaminan Allah SWT untuk ememlihara keselamatan Rasulullah SAW dalam berdakwah. Mulai saat itu para sahabat tidak lagi mengawal Rasulullah SAW.
( HR Ibnu Hibban dalam kitabnya Sahih Ibnu Hibban dari Abi Hurairah )
Pada suatu ketika Rasulullah SAW mengadakan peperangan dengan Bani Anmar. Ketika sampai di Dzatir-Riqa beliau beristirahat, di suatu perkebunan kurma yang tinggi, yang beliau duduk di tepian sumur sambil menjulurkan kaki. Seorang lelaki dari Bani Najjar yang bernama Warits berkata: “Aku akan membunuh Muhammad”. Teman-temannya bertanya: “Bagaimana kami akan membunuh Muhammad?”. Jawabannya: “Aku akan mengatakan kepadanya, “Coba pinjamkanlah pedangmu kepadaku”. Kalau permohonan itu dikabulkan, aku akan membunuhnya dengan pedang itu”.
Warits segera mendatangiRasulullah SAW yang sedang beristirahat seraya berkata: “Wahai Muhammad, berikanlah pedangmu kepadku agar aku dapat mencimnya”. Dengan tiada menaruh curiga Rasulullah SAW langsung memberikan anak pedang itu kepadanya. Ketika Warits memegang anak pedang milik Rasulullah SAW tangannya gemetar, tidak bisa berbuat apa-apa. Sehubungan denagn itu Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT telah menyelamatkan diriku dari maksud jahatmu”. Peristiwa ini telah melatarbelakangi turunnya ayat ke-67 yang dengan tegas memberikan jaminan keselamatan kepada Rasulullah SAW dalam mendakwahkan ajaran Islam.( HR. Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Marduwaih dari jabir bin Abdillah ).
Rasulullah SAW setiap hari tidak pernah terlepas dari kawalan bi Thalib, paman beliau. Kalau tidak dirinya sendiri, Abi Thalib menjadwal pemuda-pemuda Bani Hasyim untuk mengawal beliau dalam berdakwah. Ketika ayat ke-67 diturunkan kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda kepada Abi Thalib: “Paman, sesungguhnya Allah SWT telah member jaminan keselamatan atas diriku dari gangguan jin dan manusia dalam mendakwahkan agama. Mulai saat turunnya ayat ini Rasulullah SAW tidak lagi membutuhkan pengawal dalam berdakwah.( HR. Ibnu Marduwaih dan Thabrani dari Ibnu Abbas. Hadis ini adalah gharib.
Pada suatu ketika Abi Hurairah dari para sahabat yang lain mengikuti peperanagn bersama Rasulullah SAW. ketika pada suatu pagi Rasulullah mereka tinggalkan di bawah pohon besar untuk beristirahat. Ketika beliau menggantungkan anak pedangnya pada suatu dahan, datanglah seorang lelaki mengambil anak pedang beliau dan menghunusnya. Lelaki itu berkata: “Wahai Muhammad, siapakah yang akan melindungi dirimu atas diriku?”. Jawab Rasulullah SAW: “Allah SWT yang akan melindungi diriku dari kejahatanmu. Letakkan pedang itu!”. Lelaki itupun meletakkan pedang milik Rasulullah SAW. sehubungan dengan itu Alla SWT menurunkan ayat keselamatan Rasulullah SAW. mulai saat itu Rasulullah SAW lebih mantap dalam mendakwahkan ajaran yang dibawa.
( HR. Ibnu Maduwaih dari Abi Amrin bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim dari Muhammad bin Abdil-Wahab dari Adam dari Hamad bin Salamah dari Muhammad bin Amrin dari Abi Salamah dari Abi Hurairah).
c.       Penjelasan
Dalam ayat ini Allah menyuruh Nabi Muhammad, supaya menyampaikan semua yang diturunkan Allah kepada umat manusia. Dan tidak boleh disembunyikan atau ditinggalkan satu ayatpun. Kalau demikian itu tidak diperbuat, maka berarti dalam menyapaikan risalah Allah. Hal itu telah dilaksanakan oleh Nabi dengan sebaik-aiknya, yaitu menyampaikan al-Kitab (al-Qur’an) dengan lisan dan tulisan kepada sahabat-sahabatnya. Kemudian sahabat-sahabatnya dan alim ulama, sebagai waris Nabi menyampaikan pula kepada seluruh umat manusia. Berkata Nabi SAW: Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.[3]
Dan lagi katanya: Sampaikanlah dari padaku, meskipun satu ayat. Maka kewajiban kita sekarang menyampaikan al-Qur’an kepada seluruh penduduk Indonesia khususnya dan umat manusia umumnya. Dengan demikian baru kita menyampaikan risalah Allah.
Imam Syafi’i berkata. “Allah berfirman, ‘Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia’. Maksudnya, memeliharamu dari pembunuhan mereka, sebelum kamu menyampaikan apa yang diwahyukan kepadamu. Maka, sampaikan apa yang diperintahkan.[4]

2.      Surat Al-A’raaf ayat 176-177
öqs9ur $oYø¤Ï© çm»uZ÷èsùts9 $pkÍ5 ÿ¼çm¨ZÅ3»s9ur t$s#÷zr& n<Î) ÇÚöF{$# yìt7¨?$#ur çm1uqyd 4 ¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. É=ù=x6ø9$# bÎ) ö@ÏJøtrB Ïmøn=tã ô]ygù=tƒ ÷rr& çmò2çŽøIs? ]ygù=tƒ 4 y7Ï9º©Œ ã@sVtB ÏQöqs)ø9$# šúïÏ%©!$# (#qç/¤x. $uZÏG»tƒ$t«Î/ 4 ÄÈÝÁø%$$sù }È|Ás)ø9$# öNßg¯=yès9 tbr㍩3xÿtFtƒ ÇÊÐÏÈ   uä!$y ¸xsWtB ãPöqs)ø9$# z`ƒÏ%©!$# (#qç/¤x. $uZÏG»tƒ$t«Î/ öNåk|¦àÿRr&ur (#qçR%x. tbqãKÎ=ôàtƒ ÇÊÐÐÈ  

a.       Terjemahan
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”
“Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.”
b.      Penjelasan
Firman Allah Ta’ala, “Maka perumpamaannya sepeti anjing. Jika kamu menghalaunya, maka diulurkannya lidahnya. Dan jika kamu membiarkannya, maka ia mengulurkan lidahnya pula.” Yakni, dia menjadi seperti anjing dalam hal kesesatannya dan kesinambungannya dalam kesesatan itu. Hal ini karena di antar kebiasaan anjing ialah menjulurkan lidahnya, apakah ia itu dihalau maupun tidak. Demikian pula dengan Bal’am. Tidak lagi berguna baginya adanya ajakan kepada keimanan maupun tiadanya ajakan itu. Dalam kedua hal itu tidak berguna nasihat dan seruan kepada keimanan bagi Bal’am, atau tiadanya nasihat dan seruan itu kepadanya. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala, “Sama saja bagi mereka, apakah kamu memberi peringatan kepada mereka atau kamu tidak memperingatkan mereka, mereka tidak beriman.”[5]
Firman Allah Ta’ala, “Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka”. Yakni agar Bani Israel dan seluruh manusia “berpikir” terhadap kejadian akhir Bal’am, penyesatan Allah terhadap dirinya, dan penjauhannya dari rahmat-Nya karena diamenggunakan nikmat Allah, yaitu diajari nama yang agung yang tidaklah dia meminta melalui nama itu melainkan diberi. Dan tidaklah menggunakannya untuk berdo’a melainkan dipenuhi pada jalan yang bukan ketaatan kepada Tuhan-nya, bahkan dia menggunakannya untuk mendo’akan buruk kepada golongan ar-Rahman, rakyat beriman, dan pengikut hamba dan rasul-Nya, yaitu Musa a.s. pada masa itu. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman, “Agar mereka berpikir”, yakni mudh-mudahan kaum musyrikin Quraisy yang memperoleh cerita Bal’am melalui al-Qur’an menjadi takut dan mengambil pelajaran dari kejadiannya. Sesungguhnya mereka, yakni kaum musyrikin Arab dan Yahudi yang hidup pada zaman itu, mengetahui Muhammad seperti mereka mengetahui anaknya sendiri. merekalah manusia yang paling pantas dan paling utama untuk mengikutinya, menolongnya, dan memuliakannya.
Dan sesungguhnya barangsiapa yang berpaling, diantara kaum musyrikin dan Banim Israel, dari mengimani Rasulullah SAW., menyalahi sifat Nabi yang terdapat dalam Taurat, dan menyembunyikan sifat-sifatnya, maka Allah akan menimpakan kepadanya kehinaan di dunia yang berlanjut hingga kehinaan di akhirat.
Firman Allah Ta’ala, “Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kamu. “Yakni, seburuk-buruknya perumpamaan ialah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Maka meraka diserupakan dengan anjing yang tidak memiliki keinginan kecuali terhadap makanan dan syahwat. Barangsiapa yang keluar dari kerangka ilmu dan petunjuk, menuju kepada syahwat dirinya, dan memperturutkan hawa nafsunya, maka dia menyerupai anjing. Seburuk-buruknya perumpamaan adalah perumpamaan itu. Firman Allah Ta’ala, “Dan kepadadiri mereka sendirilah mereka berbuat zalim”, yakni Allah tidak menzalimi mereka dari mengikuti petunjuk, cenderung kepada negeri cobaan, dan meperturutkan hawa nafsu. [6]

3.      Surat Ibrahim ayat 24-25
öNs9r& ts? y#øx. z>uŽŸÑ ª!$# WxsWtB ZpyJÎ=x. Zpt6ÍhŠsÛ ;otyft±x. Bpt7ÍhsÛ $ygè=ô¹r& ×MÎ/$rO $ygããösùur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇËÍÈ   þÎA÷sè? $ygn=à2é& ¨@ä. ¤ûüÏm ÈbøŒÎ*Î/ $ygÎn/u 3 ÛUÎŽôØour ª!$# tA$sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcr㍞2xtGtƒ ÇËÎÈ  

a.       Terjemahan
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.”
“pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
b.      Penjelasan
“Tidakkah kamu, wahai manusia, mengetahui secara yakin bagaimana Allah telah membuat perumpamaan dan meletakkannya pada tempat yang tepat .”
Sesungguhnya, Allah yang Maha Kuasa telah membuat perumpamaan bagi kalimat yang baik, yaitu iman yang iman yang tetap di dalam kalbu mu’min, yang yang karena itu amalnya diangkat ke langit, sebagaigaman firman Allah:
“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (Fatir, 35: 10)
Dan karena iman itu pula berkah serta pahala amalnya senantiasa diterima. Pada setiap saat. Sebab, setiap kali orang mu’min mengucapkan “La ilaha ilallah”, dibawalah ucapan itu naik ke langit, lalu datanglah berkah dan kebaikannya.[7]
Allah mengumpamakan kalimat yang baik itu dengan pohon yang baik, berbuah, indah dipandang, harum baunya, pokonya tertancap kokoh di dalam tanah, yang karenanya tidak mudah tumbang, dan cabang-cabang menjulang tinggi ke udara. Keadaan ini menunjukkan kepada kokohnya pokok, kuatnya akar, dan jauhnya pohon dari benda-benda bususk yang ada di dalam tanah serta kotoran bangunan. Maka, pohon itu mendatangkan buahnya yang bersih dari segala kotoran, dan berbuah pada setiap musim dengan perintah serta izin Penciptanya. Jika seluruh sifat tersebut dimiliki oleh pohon ini, maka akan banyak manusia yang menyukainya.
Ringkasan: Allah Ta’ala mengumpamakan kalimat iman dengan sebuah pohon yang akarnya tetap kokoh di dalam tanah dan cabangnya. Hal ini disebabkan apabila hidayah telah bersemayamdi dalam satu kalbu, seakan sebuah pohon yang berbuah pada setiap musim, karena buahnya tidak pernah terputus. Setiap kalbu menerima dari kalbu serupa dan mengambil dengan cepat, lebih cepat daripada kobaran api pada kayu bakar yang kering, atau aliran listrik pada logam, atau cahaya pada senter.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa kalimat yang baik itu ialah ucapan “La Ilaha Illallah”, dan pohon yang baik ialah pohon kurma.[8]
“Pernah (suatu ketika)kami berada di sisi Rasulullah SAW. beliau bersabda, ‘Beritahukanlah padaku sebuah pohon yang menyerupai orang muslim, yang daunnya tidak pernah berguguran, tidak pada musim panas dan tidak pula pada musim dingin, serta mendatangkan buahnya pada setiap musim dengan izin Penciptanya’. Ibnu Umar berkata, ‘Kemudian terbetik dalam hatimu bahwa pohon itu adalah pohon kurma. Namun aku enggan untuk berbicara. Tatkala mereka tidak berkata sepatah pun, Rasulullah SAW. bersabda, ‘Pohon kurma’, menakala kami bengkit, aku berkata kepada Umar, ‘Wahai ayahku demi Allah sungguh telah terbetik dalam hatiku bahwa ia adalah pohon kurma’. Umar bertanya, lantas apa yang menghalangimu untuk berbicara, maka saya enggan berbicara atau mengucapkan sesuatu’. Umar berkata, ‘Kamu mengucapkannya adalah lebih aku sukai daripada begini dan begini.
Kemudian, Allah mengisyaratkan keagungan perumpamaan ini, agar ia menjadi pendorong untuk meikirkan dan mengetahui maksudnya:
Pembuatan perumpamaan akan membantu memahamkan dan mengingatkan manusia terhadap makna perkataan, karena hati lebih mudah di lunakkan dengan perumpamaan-perumpamaan. Ia dapat mengeluarkan makna dari yang tersembunyi kepada yang jelas, dan dari yang dapat diketahui dengan pikiran kepada yang dapat diketahui dengan tabiat. Dengan perumpamaan, sesuatu yang rasional bisa disesuaikan dengan sesuatu yang indrawi. Maka, tercapailah pengetahuan yang sempurna tentang sesuatu yang diumpamakan.[9]
Allah mengumpamakan perkataan yang baik, (seperti kalimat tauhid, nasehat, dan sebagainya) seperti sepohon kayu yang baik, pokoknya tetap dibumi dan cabangnya menjulang kelangit. Ia berubah pada tiap-tiap waktu dengan izin Allah. Umpama perkataan yang keji (seperti perkataan syirik, umpat, gunjing, fitnah, dan sebagainya) seperti sepohin kayu yang buruk ynag terbongkar uratnya dari muka bumi, hingga ia tiada dapat tegak dimuka bumi. Allah menetapkan hati orang-orang yang beriman dengan perkataan yang kokoh, yakni dengan dalil dan keterangan, sehingga tetap keimanannya dalam hatinya di dunia dan diakhirat. Allah menyesatkan orang-orang yang aniaya dan memperbuat apa-apa yang dikehendaki-Nya menurut hikmah-Nya (kebijaksaan-Nya), yaitu mentapkan hati orang-orang Mukmin dan menyesatkan orang-orang yang zalim. Begitulah sunnatullah.[10]

4.      Surat An-Nahl ayat 125
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ  
a.       Terjemahan
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah  dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
b.      Penjelasan
Maksudnya adalah srulah ummatmu wahai para Rasul dengan seruan agar mereka melaksanakan syari’at yang telah ditetapkannya berdasarkan wahyu yang diturunkannya, dengan melalui ibarat dan nasehat yang terdapat di dalam Kitab yang diturunkannya. Dan hadapilah mererka dengan cara yang lebih baik dari lainnya sekalipun mereka menyakitimu, dan sadarkanlah mereka dengan cara yang baik.[11]
Maksudnya adalah bahwa sesungguhnya Tuhanmu wahai para Rasul adalah lebih mengetahui dengan apa yang berjalan dan diperselisihkan, dan juga lebih mengetahui cara yang harus ditempuh sesuai yang hak.
Ringkasnya ayat tersebut menyuruh agar Rasulullah menempuh cara berdakwah dan berdiskusi dengan cara yang baik. Sedangkan petunjuk (al-Hidayah) dan kesesatan (al-dlalal) serta hal-hal yeng terjadi di antara keduanya sepenuhnya dikembalikan kepada Allah SWT, karena Dia-lah yang lebih mengetahui keadaan orang-orang yang tidak dapat terpelihara dirinya daei kesesatan, dan mengembalikan dirinya kepada petunjuk.[12]
Serulah dan ajaklah umt manusia itu kepada gama Allah dengan cara kebijaksanaan dan pengajaran yang baik. Bersoal-jawablah dengan mereka itu dengan jalan yang sebaik-baiknya. Allah lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jaln agama-Nya dan orang-orang yang dapat petunjuk. Dalam ayat ini Allah menerangkan begaimana cara melaksanakan penyiaran agama Allah kepada semua umat manusia, yaitu dengan cara kebijaksanaan, bukan dengan paksaan dan kekerasan atau dengan mencela dan memaki-meki atau dengan perkataan kasar yang jauh dari adab kesopanan, sebagaimana diperbuat oleh setengah orang yang tiada mempelajari cara da’wah (seruan) menurut petunjuk Qur’an. Sebab itu hendaklah ulama-ulama dan penyiar-penyiar agama memakai cara kebijaksanaan itu untuk menarik umat manusia kepada agama Allah, karena manusia dapat ditarik dengan kebijaksanaan, bukan dengan kekerasan.[13]
Begitu juga hendaklah menyeru umat manusia itu dengan pengajaran yang baik, dengan dalil dan keterangan cukup yang dapat difahamkan mereka. Berkata Nabi SAW: “Berbicara dengan manusia menurut kadar akal dan pikirannya”.
“Gembirakanlah mereka itu dan jangan dijauhkan; mudahkanlah dan jangan disukarkan”. Inilah cara menyeru manusia agama Allah.
Bersoal-jawablah dengan mereka itu dengan jalan yang sebaik-beiknya, yaitu dengan lunak lembut dan keterangan yang cukup, sehingga memuaskan hati meraka dan menghilangkan segala keraguannya.
Sebab itu wajiblah ulama-ulama dan penyiar-penyiar agama mengetahui bermacam-macam ilmu pengetahuan yang diketahui oleh masyarakat umat yang diserunya, supaya dapat dipersesuaikannya dengan ajaran agama, sehingga dapat diterima oleh akal mereka yang telah terdidik dengan ilmu pengetahuan itu. Kalau tidak, niscaya mereka tolak ajaran agama, karena bertentangan dengan ilmu pengetahuannya. Pendeknya ulama-ulama dan penyiar-penyiar agama harus mengetahui ilmu dunia dan akhirat, baru mereka dapat melaksanakan pekerjaaannya yang berat.[14]

5.      Surat Asy-Syuura ayat 38
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ  
a.       Terjemahan
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
b.      Penjelasan
Dalam ayat ini teranglah, bahwa urusan kaum Muslimin itu ialah dengan bermusyawarat (bermufakat, bertukar pikiran) antara sesamanya. Urusan negeri, perkumpulan, pendidikan, dan sebagainya, hendaklah dengan bermusyawarah lebih dahulu, sebelum memutuskan suatu keputusan. Denga jalan begini akan teraturlah urusan kaum Muslimin dan hiduplah mereka dengan aman dan damai. Tetapi amat saying, setengah kaum Muslimin tiada mau menurut peraturan ini, malahan mereka suka melakukan suatu hukuman (keputusan) dengan tidak bermusyawarah lebih dahulu dengan orang-orang yang ahli (patut) dalam urusan itu, sehingga akhirnya terjadi suatu yang tidak diingini (perpecahan sesama kaum Muslimin).[15]
“Dan orang-orang yang memenuhi apa yang diserukan oleh Tuhan kepada mereka, seperti mengesakan-Nya dan melepaskan diri dari menyembah sesembahan-sesembahan apa pun selain Allah.”
Dan mereka mendirikan shalat yang difardhukan tepat pada waktunya masing-masing dengan cara yang paling sempurna. Shalat di sini disebutkan secara khusus di antara rukun-rukun agama yang lain, karena shalat memang sangat penting dalam menjernihkan jiwa dan membersihkan hati, serta meninggalkan kekejian-kekejian, baik yang nyata maupun yang tidak nyata.
Apabila mereka menghadapi suatu urusan, maka mereka bermusyawarah sesama mereka, agar urusan itu dibahas dan dipelajari bersama-sama apalagi dalam soal peperangan dan lain-lain.
Rasulullah SAW. mengajak bermusyawarah para sahabat dalam banyak urusan, akan tetapi tidak mengajak mereka bermusyawarah dalam persoalan hukum, karena hukum-hukum itu diturunkan dari sisi Allah. Adapun para sahabat mereka bermusyawarah mengenai hukum-hukum dan menyimpulkannya dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Kasus yang pertama-tama dimusyawarahkan oleh para sahabat ialah tentang khilafah. Karena Nabi SAW. tidak menentukan siapa khalifah. Dan mereka juga bermusyawarah tentang peperangan melawan orang-orang murtad setelah wafatnya Rasulullah SAW. dimana yang dilaksanakan adalah pendapat Abu Bakar untuk memerangi mereka. Yang ternyata perang itu lebih baik bagi Islam dan kaum muslimin. Begitu pula Umar ra. Bermusyawarah dengan Al-Hurmuzan ketika dia datang kepadanya sebagai muslim.[16]
Semakna dengan ayat ini ialah firman Allah Ta’ala:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. (Ali Imran, 3: 159)
Diriwayatkan dari Al-Hasan, “Tidak ada satu kaum yang bermusyawarah kecuali mendapat petunjuk pada urusan mereka yang paling baik.”
Dan Ibnu Arabi mengatakan pula, “Musyawarah itu melembutkan hati orang banyak, mengasah otak dan emnjadi jalan menuju kebenaran. Dan tidak ada satu pun yang bermusyawarah kecuali mendapat petunjuk.”

Dalam perkara apa pun di antara urusan-urusan penting, pemerintah-pemerintah sekarang ini tidak keputusan kecuali bila telah diajukan terlebih dahulu kepada majlis-majlis permusyawaratan (parlemen atau majlis orang-orang tua dan wakil-wakil rakyat).
Imam Syai’i berkata, “Hasan berkata’ “Sesungguhnya Nabi SAW tidak butuh musyawarah mereka. Tetapi beliau ingin mentadisikan para pemutus perkara sesudah beliau’.[17]
Imam Syafi’i berkata pula, “Apabila seorang hakim menghadapi satu perkara yang mencakup beberapa segi atau masalah, maka hendaknya ia meminta saran kepada orang yang berilmu dan amanah.”

6.      Kaitan dengan Pendidikan
Bahwa dalam pelaksanaan pendidikan Islam dibutuhkan adanya metode yang tepat, guna menghantar tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan, sebab tidak mungkin materi pendidikan dapat diterima dengan baik kecuali disampaikan dengan metode yang tepat. Metode diibaratkan sebagai alat yang dapat digunakan dalam suatu proses pencapaian tujuan, tanpa metode, suatu materi tidak akan dapat berproses secara efisien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan.
Dalam mengajarkan peserta didik kita sebagai seorang calon pendidik harus mengetahui apa-apa saja metode pendidikan itu, agar pendidikan itu sesuai dengan al-Qur’an As-Sunnah. Dan membuat peserta didik mengerti apa yang disampaikan oleh pendidik (guru). Sehingga anak didik mencapai suatu tujuan pendidikan.
Dan selesaikan permasalahan itu dengan musyawarah, karena pada masa Rasulullah bermusyawarah itu merupakan cara untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebab itu wajiblah guru atau pendidik agama mengetahui bermacam-macam ilmu pengetahuan yang diketahui oleh masyarakat umat yang diserunya, supaya dapat dipersesuaikannya dengan ajaran agama, sehingga dapat diterima oleh akal mereka yang telah terdidik dengan ilmu pengetahuan itu. Kalau tidak, niscaya mereka tolak ajaran agama, karena bertentangan dengan ilmu pengetahuannya.




C. PENUTUP

a.       Kesimpulan
Metode pendidikan Islam berangkat dari suatu pedoman bahwa sumber ilmu adalah Allah sendiri Pencipta alam semesta. Sedangkan ilmuan hanyalah penemu butiran-butiran ilmu dalam tatanan sistematik yang disebut manusia.
Pelaksanaan metode pendidikan Islam, yang dalam prakteknya banyak terjadi di antara pendidik dan peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat yang luas, memberikan dampak yang besar terhadap kepribadian peserta didik.
Dalam penggunaan metode pendidikan Islam yang perlu dipahami adalah bagaimana seorang pendidik dapat memahami hakikat metode dan relevansinya dengan tujuan utama pendidikan Isla, yaitu terbentuknya pribadi yang beriman yang senantiasa siap sedia mengabdi kepada Allah SWT.
Metode mengajar dalam pendidikan Islam sebenarnya bisa megambil metode yang dipakai dalam pembelajaran umum asalkan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadist. Metode-metode tersebut diantaranya adalah metode ceramah, diskusi, Tanya jawab, demonstrasi, pemecahan masalah, simulasi dan permainan, sosio drama, dan kerja kelompok.



[1]A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 332
[2]A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an,  h. 332- 333
[3]Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Bahasa Indonesia), (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 2004), h. 162
[4]Majdi bin Manshur bin Syyid Asy-Syuri, Tafsir Imam Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), h. 167
[5]Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 453
[6]Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, h. 454
[7]Ahmad Muastafa Al-Maragi, Terj. Tafsir Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1994), h.  278
[8]Ahmad Muastafa Al-Maragi, Terj. Tafsir Al-Maragi, h. 279-280
[9]Ahmad Muastafa Al-Maragi, Terj. Tafsir Al-Maragi, h. 280
[10]Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Bahasa Indonesia), h. 364
[11]Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), h. 171
[12]Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, h. 172
[13]Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Bahasa Indonesia), h. 399
[14]Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Bahasa Indonesia), h. 399
[15]Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Bahasa Indonesia),h. 719
[16]Ibid, h. 94
[17]Majdi bin Manshur bin Sayyid Asy-Syuri, Tafsir Imam Syafi’I, h. 265

No comments:

Post a Comment