MAKALAH
Hakikat
Manusia & Daya – Daya Ruhani
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak
lupa kami mengucapkan kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan
dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan
selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Manusia merupakan makhluk yang sangat
menarik. Oleh karena itu, manusia dan berbagai hal dalam dirinya sering menjadi
perbincangan diberbagai kalangan. Hampir semua lemabaga pendidikan tinggi
mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri,
masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya. Para ahli telah mencetuskan
pengertian manusia sejak dahulu kala, namun sampai saat ini belum ada kata
sepakat tentang pengertian manusia yang sebenarnya. Hal ini terbukti dari
banyaknya sebutan untuk manusia, misalnya homo sapien (manusia berakal), homo
economices (manusia ekonomi) yang kadangkala disebut Economical Animal
(Binatang ekonomi), dan sebagainya.
Agama islam sebagai agama yang paling
baik tidak pernah menggolongkan manusia kedalam kelompok binatang. Hal ini
berlaku selama manusia itu mempergunakan akal pikiran dan semua karunia Allah
SWT dalam hal-hal yang diridhoi-Nya. Namun, jika manusia tidak mempergunakan
semua karunia itu dengan benar, maka derajad manusia akan turun, bahkan jauh
lebih rendah dari seekor binatang. Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an
surat Al-A’raf ayat 179.
B. Rumusan
masalah
Untuk
mengkaji dan mengulas tentang manusia dalam pandangan islam, maka diperlukan
subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian manusia menurut islam?
2. Apa
hakikat manusia menurut islam?
3. Apa
saja yang termasuk stuktur manusia?
4. Apa
saja potensi-potensi dasar manusia ?
BAB
II
MANUSIA
MENURUT TINJAUAN ISLAM
Manusia
merupakan makhluk yang paling mulia di sisi Allah SWT. Manusia memiliki
keunikan yang menyebabkannya berbeda dengan makhluk lain. Manusia memiliki jiwa
yang bersifat rohaniah, gaib, tidak dapat ditangkap dengan panca indera yang
berbeda dengan makhluk lain karena pada manusia terdapat daya berfikir, akal,
nafsu, kalbu, dan sebagainya.
1.
Pengertian
Manusia
Pengertian manusia dapat dilihat
dari berbagai segi. Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu”
(Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk
yang mampu menguasai makhluk lain. Secara istilah manusia dapat diartikan
sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok
(genus) atau seorang indiviZzdu. Secara biologi, manusia diartikan sebagai
sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan
tinggi.
Dalam Al-Quran manusia dipanggil
dengan beberapa istilah, antara lain al-insaan, al-naas, al-abd, dan bani adam
dan sebagainya. Al-insaan berarti suka, senang, jinak, ramah, atau makhluk yang
sering lupa. Al-naas berarti manusia (jama’). Al-abd berarti manusia sebagai
hamba Allah. Bani adam berarti anak-anak Adam karena berasal dari keturunan nabi
Adam. Dalam Al-Quran dan Al-Sunnah disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang
paling mulia dan memiliki berbagai potensi serta memperoleh petunjuk kebenaran
dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.
2.
Hakikat
Manusia
Manusia dalam pandangan Islam terdiri
atas dua unsur, yakni jasmani dan rohani. Jasmani manusia bersifat materi yang
berasal dari unsur unsur saripati tanah. Sedangkan roh manusia merupakan
substansi immateri berupa ruh. Ruh yang bersifat immateri itu ada dua daya,
yaitu daya pikir (akal) yang bersifat di otak, serta daya rasa (kalbu).
Keduanya merupakan substansi dari roh manusia.
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah
yang selalu berkembang dengan pengaruh
lingkungan sekitarnya karena makhluk utuh ini memiliki potensi pokok
yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani. Hal lain yang menjadi hakikat
manusia adalah mereka berkecenderungan beragam. Sebagai makhluk ciptaan Allah
yang memiliki potensi pokok paling banyak, manusia menjadi menarik untuk
diteliti. Manusia yang sebagai subjek kajian mengkaji manusia sebagai objek
kajiannya dalam hal karya, dampak karya terhadap dirinya sendiri, masyarakat
dan lingkungan hidupnya. Namun, sampai sekarang manusia terutama ilmuwan belum
mencapai kata sepakat tentang manusia.
Dalam bukunya Man the Unknown, Dr. A.
Carrel menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat
manusia. Beliau menulis :
Sebenarnya manusia telah mencurahkan
perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita
memiliki pembendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuwan,
filosof, sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi
kita (manusia) hanya mampu mengetahui dari segi tertentu dari diri kita. Kita
tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia
terdiri dari bagian bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi
menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan
pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia kepada diri
mereka hingga kini masih tetap tanpa jawaban.
Manusia diberi Allah potensi yang sangat
tinggi nilainya seperti pemikiran, nafsu, kalbu, jiwa, raga, panca indera.
Namun potensi dasar yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Allah
lainnya terutama hewan adalah nafsu dan akal/pemikiran. Manusia memiliki nafsu
dan akal, sedangkan binatang hanya memiliki nafsu. Manusia yang cenderung
menggunakan nafsu saja atau tidak mempergunakan akal dan berbagai potensi
pemberian Allah lainnya secara baik dan benar, maka manusia akan menurunkan
derajatnya sendiri menjadi binatang, walaupun Al-Quran tidak menggolongkan
manusia ke dalam kelompok binatang seperti yang dinyatakan Allah dalam Al-Quran
(Q.S. Al A’raf : 179) :
öNçlm; Ò>qè=è% w cqßgs)øÿt $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& w tbrçÅÇö7ã $pkÍ5 öNçlm;ur ×b#s#uä w tbqãèuKó¡o !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ
Artimya : “ Mereka (jin dan manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk
memahami (ayat ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat
(tanda tanda keksuasaan Allah), punya telinga tetap tidak mendengar (ayat ayat
Allah). Mereka (manusia) yang seperti itu sama (martabatnya) dengan hewan,
bahkan lebih rendah (lagi) dari binatang.”
3.
Struktur
Manusia
Struktur
manusia terdiri dari enam yaitu jasmani, rohani, nafsani, kalbu, akal, hawa
nafsu.
a. Jasmani
Ciri-ciri
jasmani yaitu :
1) Bersifat materi yang tercipta karena
adanya proses (tahap)
2) Adanya bentuk berupa kadar dan bisa disifati
3) Ekstetensinnya menjadi wadah roh
4) Terikat oleh ruang dan waktu
5) Hanya mampu menangkap yang kongkret bukan
yang abstrak
6) Substansinya temporer dan hancur setelah
mati
b. Rohani
Ciri-ciri rohani yaitu :
1) Adanya di alam arwah (immateri)
2) Tidak meiliki bentuk, kadar dan tidak
bisa disifati
3) Ada energy rohaniah yang disebut
al-amanah
4) Ekstitensi energi rohaniah tertuju pada
ibadah
5) Tidak terikat oleh ruang dan waktu
6) Dapat menangkap beberapa bentuk konkret
dan abstrak
7) Substansinya abadi tanpa kematian
8) Tidak dapat dibagi karena merupakan satu
keutuhan
c. Nafsani
Ciri-ciri nafsani yaitu :
1)
Adanya di alam jasad
dan rohani terkadang tercipta dengan proses bisa juga tidak
2)
Antara berbentuk atau
tidak
3)
Memiliki energy
rohaniyah dan jismiyyah
4)
Ekstitensi energy
nafsani tergantung ibadah dan gizi (makanan)
5)
Ekstitensi realisasi
atau aktualisasi diri
6)
Antara terikat atau
tidak oleh ruang dan waktu
7)
Dapat menangkap antara
yang konkret dan abstrak h. Antara dapat dibagi-bagi atau tidak
d. Kalbu
Ciri-ciri kalbu yaitu :
1)
Secara jasmaniyyah
berkedudukan di jantung.
2)
Daya yang dominan
adalah emosi (rasa).
3)
Bersifat Dzawqiyyah
(cita rasa) dan hadsiyah (intuitif) sifatnya spiritual.
4)
Mengikuti natur roh
yang ketuhanan atau ilahiyyah.
5)
Berkedudukan pada alam
super sadar atau dasar manusia.
6)
Intinya religiositas,
spiritualitas, dan transedensi
7)
Apabila mendominasi
jiwa manusia maka akan menimbulkan kepribadian yang tenang (Nafs Mutma‟innah)
Kalbu merupakan materi organic yang
memiliki sistem kognisi yang berdaya emosi. Kalbu terdiri dari dua aspek yaitu
kalbu jasmani dan kalbu ruhani. Kalbu jasmani adalah daging yang berbentuk
seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri (biasa disebut
jantung), sedangkan kalbu ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus yang
berhubungan dengan kalbu jasmani (esensi manusia).
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat
segumpal daging. Apabila ia baik, maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila
ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu”
(H.R. al-bukhari).”
Adapun kalbu (hati/jiwa), ia adalah
‘pemilik putusan’ yang sebenarnya. Kalbu mendengarkan usulan-usulan yang
diberikan akal dan nafsu berikut perdebatan yang terjadi antara keduanya,
lantas ialah yang mengambil putusan. Selain itu, kalbu juga merupakan ruangan
tempat tinggal perasaan.Kalbu terletak dalam rongga dada, sebagaimana firman
Allah dalam surah al-Hajj ayat 46. Kemungkinan, antara kalbu dan jantung (qalb)
ada hubungan tertentu. Atau, bisa jadi kalbu adalah jantung itu sendiri. Atau,
bisa jadi pula kalbu yang termaktub dalah nash syariat bukanlah kalbu dalam
bentuk materi.
Fungsi
kalbu :
1)
Fungsi emosi yang
menimbulkan daya rasa.
2)
Fungsi kognisi yang
menimbulkan daya cipta.
3)
Fungsi konasi yang
menghasilkan daya cipta.
Dari
sudut kondisinya, kalbu memiliki kondisi :
1)
Baik, yaitu kalbu yang
hidup, sehat, dan mendapatkan kebahagiaan.
2)
Buruk, yaitu kalbu yang
mati dan mendapatkan kesengsaraan
3)
Antara yang baik dan
hidup, yaitu kalbu yang hidup namun berpenyakit.
e. Akal
Ciri-ciri akal yaitu :
1)
Secara Jasmaniyyah
berkedudukan di otak (al-dimagh).
2)
Daya yang dominan
adalah kognisi (cipta) sehingga adanya intelektual.
3)
Mengikuti antara natur
roh dan jasad.
4)
Potensinya bersifat
istidhlaliyyah 9argumentatif) dan aqliyah (logis) yang bersifat rasional
5)
Berkedudukan pada alam
kesadaran manusia.
6)
Intinya isme-isme
seperti : humanism, kapitalisme, dan lain-lain..
7)
Apabila mendominasi
jiwa maka akan terwujud jiwa yang labil (Nafs Al-lawwamah)
Akal memiliki arti menahan, melarang,
dan mencegah. Maka orang yang berakal yaitu orang yang mampu menahan dan
mengikat hawa nafsunya. Akal merupakan organ tubuh yang terletak di kepala
(otak) yang memiliki cahaya nurani dan dipersiapkan untuk memperoleh
pengetahuan dan kognisi. Akal juga diartikan sebagai energy yang mampu
memperoleh, mengolah, dan mengeluarkan pengetahuan.
Fungsi
akal :
1. Berfungsi
untuk berfikir.
2. Menghantarkan
eksistensi manusia pada tingkat kesadaran.
3. Mampu
mencapai kebenaran.
Akal bertugas sebagai mustasyar
(penasihat) yang memberikan pendapat dan ide yang menurutnya baik. Ia memiliki
pandangan yang jauh ke depan, mengukur sesuatu dengan memprediksikan hasil dan
akibatnya. Apabila akal diterangi oleh cahaya Islam maka ia akan menunjukkan
pada jalan kebenaran. Sebaliknya, jika ia tak tersentuh oleh cahaya Islam maka
ia akan menunjukkan pada jalan kebatilan, sembari mengiranya suatu kebenaran
lantaran kebodohan dan kelalainnya. Oleh sebab itu, syariat Islam senantiasa
berusaha menyinari akal dengan cahaya Islam agar alasan yang diberikannya pada
kalbu menjadi kuat. Dan, agar ia terhindar dari godaan setan yang selalu
berupaya membuatnya puas untuk berbuat kebatilan, setelah menghiasi kebatilan
tersebut dengan ‘jubah kebenaran’.Telah diketahui bahwa akal terdapat dalam
otak. Akan tetapi, akal bukanlah otak itu sendiri. Sebagaimana diketahui,
perintah memang berasal dari otak menuju ke seluruh anggota jasmani, sehingga
muncul anggapan bahwa otak adalah ‘pemilik putusan’. Sungguh, anggapan ini
tidaklah benar. Otak adalah bagian dari jasmani. Maka, ketika turun perintah
pada jasmani, perintah tersebut tidak serta-merta menuju ke bagian-bagian
jasmani tersebut. Akan tetapi, pertama kali akan turun ke otak, yang kemudian
ditujukan ke seluruh bagian jasmani.
f. Hawa Nafsu
Ciri-ciri hawa nafsu yaitu :
1)
Secara jasmaniyyah
terdapat di perut dan alat kelamin
2)
Daya yang dominan
adalah konarsi (karsa) atau psikomotorik
3)
Mengikuti natur ajsad
yang hayawaniyyah baik jinak maupun buas (bahimiyyah dan subu‟iyyah)
4)
Bersifat hisiyyah
(indrawi) yang sifatnya empiris
5)
Kedudukannya terdapat
pada alam pra/ bawah sadar manusia
6)
Intinya adalah
produktivitas, kreativitas dan komsumtif
7)
Apabila mendominasi
jiwa maka akan terwujud nafs al-ammarah
Nafsu
adalah daya nafsani yang memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan al-ghadhabiyah
dan al-syahwaniyah. Al-ghadhah adalah suatu daya yang berpotensi untuk
menghindari diri dari segala yang membahayakan, yaitu tingkah laku yang
berusaha membela atau melindugi ego terhadap kesalahan, kecemasan, dan rasa
malu, juga melindugi diri sendiri, memanfaatkan, dan merasionalisasikan
perbuatan sendiri.
Sedangkan
al-syahwat adalah suatu daya yang berpotensi meginduksi diri dari segala yang
menyenangkan (keinginan, birahi, hawa nafsu). Nafsu dikenal dengan konasi yaitu
bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan, dan berkehendak.Nafsu adalah sebagai
mustasyar kedua. Yang menjadi ‘ukuran baik-buruk’ baginya ialah kenikmatan
sesaat dan maslahat individual, terlepas dari nilai kebenaran. Sebab, nasfu
tidak memiliki pandangan jauh seperti akal yang memprediksikan akibat yang
belum terjadi. Setan kerap mempengaruhi manusia lewat unsur ini. Ia merupakan
lobang besar yang setan gunakan untuk menggoda manusia. Maka dari itu, syariat
Islam senantiasa berupaya untuk mengendalikan nafsu, memperkecil pengaruhnya
terhadap kalbu, menutup jalan-jalan setan padanya, serta mendidiknya dengan apa
yang dibencinya.Dengan demikian, jelaslah sudah bahwa akal dan nafsu tidak
memiliki andil dalam mengambil putusan, tetapi hanya memberikan usulan dan
pendapat.
Skema perbandingan
No
|
Kalbu
|
Akal
|
Nafsu
|
1
|
Berkedudukan
di jantung
|
Berkedudukan
di otak
|
Berkedudukan
di perut dan alat kelamin yang berbentuk syahwat
|
2
|
Berdaya
emosi (rasa)
|
Berdaya
kognisi (cipta)
|
Berdaya
konasi (cipta)
|
3
|
Mengikuti
natur ruh yang ilahiah (ketuhanan)
|
Mengikuti
natur ruh dan jasad yang insaniah (insan)
|
Mengikuti
natur jasad yang hayawaniah (hewan)
|
4
|
Potensi
bersifat zauqiah (cita-rasa) dan hadsiah (intuitif)
|
Potensinya
bersifat argumentative dan logis
|
Potensinya
bersifat indrawi
|
5
|
Berkedudukan
pada alam supra kesadaran manusia
|
Berkedudukan
pada alam kesadaran manusia
|
Berkedudukan
pada alam atau pra sadar manusia
|
6
|
Apabila
mendominasi jiwa manusia maka menimbulkan kepribadian yang tenang.
|
Apabila
mendominasi jiwa manusia maka menimbulkan kepribadian yang labil
|
Apabila
mendominasi jiwa manusia maka menimbulkan yang jahat
|
4.
Potensi-Potensi
Dasar Manusia dalam Islam
Allah menciptakan manusia dengan
memberikan kelebihan dan keutamaan yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya.
Kelebihan dan keutamaan itu berupa potensi dasar yang disertakan Allah atasnya,
baik potensi internal (yang terdapat dalam dirinya) dan potensi eksternal
(potensi yang disertakan Allah untuk membimbingnya). Potensi ini adalah modal
utama bagi manusia untuk melaksanakn tugas dan memikul tanggung jawabnya. Oleh
karena itu, ia harus diolah dan didayagunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga
ia dapat menunaikan tugas dan tanggung jawab dengan sempurna.
a. Potensi Fitriyah
Ditinjau
dari beberapa kamus dan pendapat tokoh islam, fitrah mempunyai makna sebagai
berikut :
1) Fitrah
berasal dari kata (fi‟il) fathara yang berarti “menjadikan” secara etimologi
fitrah berarti kejadian asli, agama, ciptaan, sifat semula jadi, potensi dasar,
dan kesucian [1]
2) Dalam
kamus B. Arab Mahmud Yunus, fitrah diartikan sebagai agama, ciptaan, perangai,
kejadian asli. [2]
3) Dalam
kamus Munjid kata fitrah diartikan sebagai agama, sunnah, kejadian, tabi‟at.
4) Fitrah
berarti Tuhur yaitu kesucian [3]
5) Menurut
Ibn Al-Qayyim dan Ibn Katsir, karena fatir artinya menciptakan, maka fitrah
artinya keadaan yang dihasilkan dari penciptaannya itu[4]
Apabila
di interpretasikan lebih lanjut, maka istilah fitrah sebagaimana dalam Ayat
Alqur‟an, hadits ataupun pendapat adalah sebagai berikut :
1) Fitrah
berarti agama, kejadian. Maksudnya adalah agama Islam ini bersesuaian dengan
kejadian manusia. Karena manusia diciptakan untuk melaksanakan agama
(beribadah). Hal ini berlandaskan dalil Al-qur‟an surat Adz-Dzariyat (51:56)[5]
2) Fitrah
Allah untuk manusia merupakan potensi dan kreativitas yang dapat dibangun dan
membangun, yang memilliki kemungkinan berkembang dan meningkat sehingga
kemampuannya jauh melampaui kemampuan fisiknya. Maka diperlukan suatu
usahausaha yang baik yaitu pendidikan yang dapat memelihara dan mengembangkan
fitrah serta pendidikan yang dapat membersihkan jiwa manusia dari syirik,
kesesatan dan kegelapan menuju ke arah hidup bahagia yang penuh optimis dan
dinamis. Ini sesuai dengan Al-Qur‟an surat Ar-Rum ayat : 30 yaitu : Artinya :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui Pada ayat ini Allah telah menciptakan semua makhluknya
berdasarkan fitrahnya. Surat ini telah menginspirasikan untuk mengembangkan dan
mengaktualisasikan fitrah atau potensi itu dengan baik dan dan lurus.[6]
3) Fitrah
berarti ikhlas. Maksudnya manusia lahir dengan berbagai sifat, salah satunya
adalah kemurnian (keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas. Berkaitan
dengan makna ini ada hadits yaitu : “Tiga perkara yang menjadikannya selamat
adalah ikhlas, berupa fitrah Allah, di mana manusia diciptakan darinya, sholat
berupa agama, dan taat berupa benteng penjagaan” (HR. Abu Hamdi dari Mu‟adz)
Dengan demikian, pada diri manusia sudah
melekat (menyatu) satu potensi kebenaran (dinnullah). Kalau ia gunakan
potensinya ini, ia akan senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus. Karena
Allah telah membimbingnya semenjak dalam alam ruh (dalam kandungan).
b.
Potensi Ruhiyah
Ialah potensi yang dilekatkan pada hati
nurani untuk membedakan dan memilih jalan yang hak dan yang batil, jalan menuju
ketaqwaan dan jalan menuju kedurhakaan. Bentuk dari roh ini sendiri pada
hakikatnya tidak dapat dijelaskan.
Ruh merupakan kekuatan yang membuat
jasmani mampu melaksanakan tugasnya. Ia adalah unsur maknawi dalam pelaksanaan
tugas. Tanpa ruh, jasmani tidak akan mampu melaksanakan apa pun. Perumpamaan
keduanya bagaikan listrik dan peralatan listrik. Peralatan tidak akan berfungsi
jika tidak dialiri arus listrik. Ketika kita memutuskan arus listrik dari peralatan
tersebut, ia pun akan berhenti bekerja, meskipun bagian-bagiannya dalam kondisi
bagus.Dengan begitu, tugas ruh adalah sebagai media pelaksana seperti halnya
jasmani. Perbedaannya, ruh merupakan unsur maknawi, sedangkan jasmani ialah
unsur materi. Kita pun tidak menemukan nash-nash syariat memuji ataupun mencela
ruh, karena ia hanyalah kekuatan yang dapat difungsikan untuk kebaikan atau
keburukan. Tidak memiliki daya untuk memutuskan, menyetujui, atau menolak.
Di
dalam hati setiap manusia telah tertanam potensi ini, yang dapat membedakan
jalan kebaikan (kebenaran) dan jalan keburukan (kesalahan). Menurut Ibn „Asyur
kata „nafs‟ pada surat Asy-Syams ayat ke-7 menunjukan nakiroh maka arti kata
tersebut menunjukan nama jenis, yaitu mencakup jati diri seluruh manusia
seperti arti kata „nafs‟ pada surat Alinfithar ayat 5 yaitu : Artinya : maka
tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang
dilalaikannya.
Menurut
Al-Qurthubi sebagian ulama mengartikan „nafs‟ adalah nabi Adam namun sebagian
lain mengartikan secara umum yaitu jati diri manusia itu sendiri. Pada arti
kata „nafs‟ ini terdapat tiga unsur yaitu :
1) Qolbu
: menurut para ulama salaf adalah nafs yang terletak di jantung
2) Domir
: bagian yang samar, tersembunyi dan kasat mata
3) Fuad
: mempunyai manfaat dan fungsi
Dengan
demikian, dalam potensi ruhaniyyah terdapat pertanggungjawaban atas diberinya
manusia kekuatan pemikir yang mampu untuk memilih dan mengarahkan
potensipotensi fitrah yang dapat berkembang di ladang kebaikan dan ladang
keburukan ini. Karena itu, jiwa manusia bebas tetapi bertanggung jawab. Ia
adalah kekuatan yang dibebani tugas, dan ia adalah karunia yang dibebani
kewajiban. Demikianlah yang dikehendaki Allah secara garis besar terhadap
manusia. Segala sesuatu yang sempurna dalam menjalankan peranannya, maka itu
adalah implementasi kehendak Allah dan qadar-Nya yang umum.[7]
c.
Potensi Aqliyah
Potensi Aqliyah terdiri dari panca
indera dan akal pikiran (sam‟a basar, fu‟ad). Dengan potensi ini, manusia dapat
membuktikan dengan daya nalar dan ilmiah tentang „kekuasaan‟ Allah. Serta
dengan potensi ini ia dapat mempelajari dan memahami dengan benar seluruh hal
yang dapat bermanfaat baginya dan tentu harus diterima dan hal yang mudharat
baginya tentu harus dihindarkan.
Potensi Aliyah juga merupakan potensi
yang dianugerahkan Allah kepada manusia agar manusia dapat membedakan mana yang
haq dan mana yang bathil dan mapu berargumen terhadap pemilihan yang dilakukan
oleh potensi ruhiyah. Allah berfirman dalam Al-qur‟an surat An-Nahl ayat 78 :
Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur. Ayat ini menurut Tafsir Al-maraghi mengandung penjelasan
bahwa setelah Allah melahirkan kamu dari perut ibumu, maka Dia menjadikan kamu
dapat mengetahui segala sesuatu yang sebelumnya tidak kamu ketahui. Dia telah
memberikan kepadamu beberapa macam anugerah berikut ini :
1) Akal
sebagai alat untuk memahami sesuatu, terutama dengan akal itu kamu dapat
membedakan antara yang baik dan jelek, antara yang lurus dan yangs esat, antara
yang benar dan yang salah
2) Pendengaran
sebagai alat untuk mendengarkan suara, terutama dengan pendengaran itu kamu
dapat memahami percakapan diantara kamu
3) Penglihatan
sebagai alat untuk melihat segala sesuatu, terutama dengan penglihatan itu kamu
dapat mengenal diantara kamu.
4) Perangkat
hidup yang lain sehingga kamu dapat mengetahui jalan untuk mencari rizki dan
materi lainnya yang kamu butuhkan, bahkan kamu dapat pula meilih mana yang
terbaik bagi kamu dan meninggalkan mana yang jelek. [8]
Menurut An-Nawawi menafsirkan ayat ini
bahwa agar kamu (manusia) menggunakan ni‟mat Allah itu untuk kebaikan, maka
kamu mendengar akan nasihat Allah, dan melihat tanda-tanda Allah dan memikirkan
kebesaran Allah.[9]
Selain ayat tersebut, surat Al-Israa
ayat 36 juga menjelaskan tentang potensi ini yang berbunyi : Artinya : Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.
Pada ayat ini Qatadah mengatakan bahwa
makna yang dimaksud adalah janganlah kamu mengatakan bahwa kamu melihatnya,
padahal kamu tidak melihatnya, atau kamu katakana kamu mendengarnya padahal
kamu tidak mendengrnya, atau kamu katakana bahwa kamu mengetahuinya, padahal
kamu tidak mengetahui. Karena sesungguhnya Allah kelak akan meminta
pertanggungjawaban darimu tentang hal itu secara keseluruhan, sehingga inti
dari ayat ini adalah bagaimana kita mengolah potensi yang terdapat dalam ayat
ini dengan sebaik-baiknya karena ketika kita menggunakan potensi ini, maka cara
kita menggunakannya akan mendapat pertanggungjawaban kelak di akhirat dan Allah
melarang sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu
dengan dzan (dugaan) yang bersumber dari sangkaan atau ilusi.Termasuk dalam
surat Al-„Araf tentang potensi Aqliyah ini pada ayat 179 yang berbunyi :
Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami sediakan untuk mereka jahannam banyak
dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati (tetapi) tidak mereka gunakan
memahami, dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat
dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar,
mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka
itulah orang-orang yang lalai”. Dalam ayat ini, kekuatan dan kesuksesan
bersumber dari-Nya, aktifitas akal dan juga ruh berada di tangan-Nya. Oleh
karena itu, manusia tidak dapat menyembunyikan sesuatu apa pun dari-Nya,
melainkan dalam setiap kesempatan dan keadaan senantiasa memohon taufik
dari-Nya dan menjadikan Allah sebagai penolong-Nya dan tidak mencari penolong
selainNya.10 Sehingga dapat kita ketahui bahwa akal merupakan potensi yang
besar yang iberikan oleh Allah sehingga kita bisa melaksanakan tugas sebagai
ciptan-Nya dengan baik dan benar.
d. Potensi
Jasmaniyah
Ialah kemampuan tubuh manusia yang telah
Allah ciptakan dengan sempurna, baik rupa, kekuatan dan kemampuan. Sebagaimana
pada firman Allah Al-Qur‟an surat At-Tin ayat 4 yaitu Artinya : sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. [10]
Kata insan dijumpai dalam Al-Qur‟an
sebanyak 65 kali. Penekanan kata insan ini adalah lebih mengacu pada
peningkatan manusia ke derajat yang dapat memberinya potensi dan kemampuan
untuk memangku jabatan khalifah dan meikul tanggung jawab dan amanat manusia di
muka bumi, karena sebagai khalifah manusia dibekali dengan berbagai potensi
seperti ilmu, persepsi, akal dan nurani. Dengan potensi-potensi ini manusia
siap dan mampu menghadapi segala permasalahan sekaligus mengantisipasinya. Di
samping itu, manusia juga dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang
mulia dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari makhluk lain dengan
berbekal potensi-potensi tadi.[11]
Dan dalam surat ini manusia diberikan
oleh Allah potensi jasmani. Potensi ini juga terdapat disurat At-Taghabun ayat
3 yang berbunyi : Artinya: Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak, Dia
membentuk rupamu dan membaguskan rupamu itu, dan hanya kepada-Nya-lah
kembali(mu). Oleh karena itu, patutnya manusia sebagai ciptaan Allah yang
sangat mulia dan banyak keutamaan, agar mempergunakan potensi jasmaninya dengan
baik sebagai modal utama untuk menjalankan tugas sebagai ciptan-Nya.
Tugas jasmani (tubuh/badan) adalah
melaksanakan suatu perintah yang diberikan padanya. Ia tidak turut serta dalam
pengambilan putusan, tetapi hanya sekadar media dalam pelaksanaan tugas.
Berkenaan dengan ini, kita pun tidak menemukan pujian atau celaan terhadap jasmani
dalam nash-nash syariat. Justru kita menemukan pernyataan nash yang menegaskan
bahwa jasmani bukanlah sebuah ‘ukuran’ baik-buruknya seseorang, seperti sabda
Nabi, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada jasmani dan harta kalian, tetapi
Dia melihat pada kalbu dan amalan kalian,” (HR. Muslim).
BAB
III PENUTUP
KESIMPULAN
Allah
menciptakan manusia dengan memberikan kelebihan dan keutamaan yang tidak
diberikan kepada makhluk lainnya. Kelebihan dan keutamaan itu berupa potensi
dasar yang disertakan Allah atasnya, baik potensi internal (yang terdapat dalam
dirinya) dan potensi eksternal (potensi yang disertakan Allah untuk
membimbingnya). Potensi ini adalah modal utama bagi manusia untuk melaksanakan
tugas dan memikul tanggung jawabnya. Oleh karena itu, ia harus diolah dan
didayagunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga ia dapat menunaikan tugas dan
tanggung jawab dengan sempurna.
Manusia
terdiri dari jasmani dan ruh. Di lain hal ia juga terdiri dari akal, nafsu, dan
kalbu. Manusia diberi Allah potensi yang sangat tinggi nilainya seperti
pemikiran, nafsu, kalbu, jiwa, raga, panca indera. Namun potensi dasar yang
membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya terutama hewan adalah
nafsu dan akal/pemikiran. Manusia memiliki nafsu dan akal, sedangkan binatang
hanya memiliki nafsu. Manusia yang cenderung menggunakan nafsu saja atau tidak
mempergunakan akal dan berbagai potensi pemberian Allah lainnya secara baik dan
benar, maka manusia akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi binatang.
DAFTAR PUSTAKA
1. [1]
Hasan Langgulung, Pendidikan dan peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1985), h.215
2. [2]
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah
Penafsir Al-Qur’an, 1973) h.319
3. [3]
Al-Qurthubi, Ibn ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad Anshari, Tafsir Al-Qurthuby
(Kairo: Dar al Sa’ab) Juz VI h.5106
4. [4]
Muis Said Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press,
2004) h.17
5. [5]
Al-Qur’an dan Tafsirnya h.571
6. [6] Maimunah Hasan, Membangun Kreativitas Anak
Secara Islami (Yogyakarta: Bintang cemerlang, 2002) h.9
7. [7] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
(Jakarta: Gema Insani, 2007) h.377-382
8. [8] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi
h.118 jilid 5
9. [9]
Syaikh Muhammad An-nawawi, Tafsir An-Nawawi h.461 jilid 1
10. [10]
Muhsin Qira’ati, Tafsir Nur hal.313 jil. 4
[11] Marzuki, Dosen FIS
UNY, Makalah tentang Konsep manusia dan agama, h.13
No comments:
Post a Comment